Selasa, 28 April 2009

Surat kepada Presidaen

“Sebaik-baik Jihad adalah Menyampaikan Perkataan Yang Haq (Benar) Dihadapan Seorang Pemimpin Yang Dzalim (shahih Al-Jami’)

Hujjah
oleh
Amir Jama’ah Kita (Ansharut Tauhid)
Ust Abu Bakar Ba’asyir kepada Presiden RI


NASKAH SURAT
Kepada Yth.
-Saudara Presiden Republik Indonesia.
-Saudara Ketua DPR RI.
-Saudara Ketua MPR RI.

Segala Puji bagi Allah SWT, Pemilik, Penguasa dan Pemelihara alam semesta. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan atas utusan-Nya yang terpercaya, Nabi Muhammad saw, atas semua keluarga, semua sahabatnya dan semua hamba Allah yang mengikuti sunnahnya sampai hari Qiamat. Amiin.

Amma Ba’du:

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, memiliki wilayah yang luas dan sejatinya merupakan negara yang berdaulat dan bermartabat dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, semua itu merupakan karunia yang Allah SWT berikan kepada bangsa ini. Namun demikian kondisi tanah air kita akhir-akhir ini sangat memprihatinkan dengan terjadinya berbagai bencana dan musibah yang datang bertubi-tubi dan seolah tiada henti-hentinya. Menyikapi ini semua sepatutnya kita harus introspeksi diri, tidakkah kita sadari bahwa alam semesta maupun kenikmatan yang Allah SWT berikan baik yang ada di alam semesta maupun kenikmatan yang diperoleh setiap individu tidak akan pernah diambil kembali oleh-Nya kecuali manusia telah merusaknya

Allah SWT di dalam Al-Qur’an berfirman:
“Demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum (bangsa), hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(Al-Anfaal:53)
“….. sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka, selain-Nya”(Ar-Ra’d:11)

Yang terhormat Saudara Presiden, Ketua DPR dan Ketua MPR RI,

Silih bergantinya bencana dan musibah yang melanda bangsa ini disadari atau tidak dilakukan oleh tangan-tangan dan perbuatan kita sendiri oleh karena mereka tidak dibina keimanannya, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an :.
“Telah nyata kerusakan di darat dan di laut dengan sebab perbuatan tangan manusia, supaya Dia merasakan kepada mereka sebagian (akibat) dari yang mereka perbuat supaya mereka kembali (ke Al Qur’an-As sunnah)” (Ar-Ruum:41)
Sebagai muslim, dengan ijin Allah SWT kami merasa berkewajiban untuk menyampaikan taushiyah (nasihat) dan tadzkirah (peringatan) kepada saudara sesama muslim, terutama kepada yang terhormat saudara Presiden, Ketua DPR dan Ketua MPR RI. Nasihat ini kami sampaikan sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam Al-Qur’an yang mengarahkan agar kita senantiasa saling menasihati dan mengingatkan, karena nasihat dan peringatan seorang muslim kepada saudaranya amat bermanfaat untuk menjaga kestabilan iman dan taqwa sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (Adz-Dzariyat:55)

Yang terhormat Saudara Presiden, Ketua DPR dan Ketua MPR RI,

Sebagian muslim memang ada yang mau mendengarkan nasihat dan peringatan yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi, tetapi ada pula yang tidak peduli. Mereka yang tidak peduli kepada peringatan Al-Qur’an dan Sunnah adalah seperti orang Yahudi, yang mengatakan bahwa “hati mereka telah tertutup” sebagaimana Allah terangkan keadaan mereka:
Dan mereka berkata:”Hati kami tertutup!” Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman. (Al-Baqarah:88)
Mereka yang tidak mau mendengarkan nasihat ini, tidak dapat menjaga diri dan keluarganya dari api neraka, padahal Allah memerintahkan:
Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (At-Tahrim:6)

Yang terhormat Saudara Presiden, Ketua DPR dan Ketua MPR RI,

Bahwa sesungguhnya di tangan saudara terletak kekuasaan yang diamanatkan oleh Allah SWT untuk mengurus dan mengelola karunia-Nya, negara Indonesia, yang berpenduduk mayoritas muslim dan merupakan komunitas muslimin terbesar di dunia. Amanat besar ini dapat menjadi kendaraan yang menyelamatkan saudara di Akhirat, tetapi sebaliknya dapat juga menjadi kendaraan yang menjerumuskan saudara ke neraka Jahannam.
Dengan harapan bahwa kekuasaan ini menjadi kendaraan yang menyelamatkan saudara, keluarga dan rakyat serta bangsa Indonesia di Akhirat nanti, maka kami ingin menyampaikan peringatan berdasar bimbingan Allah dan rasul-Nya, semoga dapat dipahami dan kemudian diamalkan sesuai kemampuan. Semoga Allah memberi karunia kemampuan kepada saudara untuk membebaskan negara ini dari kegelapan yang meliputinya sejak kemerdekaan sampai hari ini, menuju cahaya Allah yang terang benderang, amin.

Yang terhormat Saudara Presiden, Ketua DPR dan Ketua MPR RI,

Sebagai muslim, kehidupan kita terikat seratus persen dengan tatanan Syari’at atau hukum Allah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang meliputi aspek pribadi, keluarga maupun negara. Ini berarti bahwa dalam mengelola negara ini, saudara terikat dengan tatanan Syari’at atau hukum Allah. Dalam hal ini Allah berfirman:
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa’:65)
Bahkan dengan tegas Allah memerintahkan kepada muslimin agar dalam menata kehidupan ini hanya mengikuti jalan Allah (syariat Islam) secara murni, dan menghindari semua ideologi ciptaan manusia (Demokrasi,Sekuleris,Pluralisme,Kapitalisme,dll) Allah berfirman:
Dan bahwa (yang Aku perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (Al-An’am:153)

Yang terhormat Saudara Presiden, Ketua DPR dan Ketua MPR RI,

Sebagai seorang muslim yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, saudara terkena kewajiban suci ini dalam mengelola negara karunia Allah; saudara Wajib mengelola negara ini dengan Syari’at Islam secara kaffah, tidak boleh ada pilihan lain. Ketentuan ini merupakan harga mati, merupakan konsekwensi orang yang telah meyakini kebenaran dua kalimat syahadat. Allah berfirman:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan (hukum), bahwa akan ada bagi mereka pilihan (hukum yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata. (Al-Ahzab:36)

Yang terhormat Saudara Presiden, Ketua DPR dan Ketua MPR RI,

Amanat kekuasaan yang ada di tangan saudara harus difungsikan untuk menjaga kelancaran pengamalan perintah Allah kepada umat Islam dan memberantas semua hal yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, memberantas kemungkaran dan kemaksiatan. Allah telah menegaskan bahwa tugas utama seorang hamba yang diberi kekuasaan adalah: menegakkan shalat untuk diri, keluarga dan rakyatnya, amar ma’ruf dan nahi munkar. Firman-Nya:
(Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah akhir segala urusan. (Al-Hajj:41).
Maka kewajiban pokok saudara sebagai penguasa negara umat Islam adalah memerintahkan kaum muslimin di negeri ini agar mengamalkan semua perintah Allah seperti shalat, zakat, puasa Ramadhan, menutup aurat bagi wanita baligh bila keluar rumah dan banyak hukum lain-lainnya. Di samping itu saudara wajib melarang semua bentuk kemungkaran dan kemaksiatan. Kewajiban ini dapat dilaksanakan dengan sarana undang-undang, dan mereka yang melanggar harus diberi sanksi hukuman.
Harus dilakukan amandemen terhadap UUD, dan ditegaskan bahwa dasar negara karunia Allah ini adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedang hukum positif yang berlaku adalah Syari’at Islam dan segala perangkat hukum serta kelengkapannya yang tidak menyalahi syari’at Islam.
Tidak melakukan kewajiban ini adalah sebuah kesalahan besar di hadapan Allah, kecuali jika saudara memang belum mampu mengamalkannya – tetapi ini harus dibuktikan dengan adanya langkah-langkah kongkrit yang harus saudara lakukan.
Apabila saudara tidak melakukan kewajiban ini maka saudara ikut menanggung dosa semua pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian umat Islam terhadap hukum Allah. Itu disebabkan karena saudara membiarkan perintah Allah tidak dikerjakan dan larangan-Nya dilanggar, sedang di tangan saudara ada kekuasaan yang dapat digunakan untuk menanggulanginya, yakni dengan penegakan dan pembelakuan Syari’at Islam. Yang harus saudara pertanggung-jawabkan lebih berat lagi adalah kenyataan banyaknya umat Islam yang dimurtadkan oleh orang-orang Kafir. Kemungkaran ini berjalan mulus karena tidak ada undang-undang yang menangkalnya, yang juga menjadi tanggung jawab saudara. Rasulullah saw. menjelaskan bahwa seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap keadaan rakyat yang dipimpinnya:
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas rakyatnya, imam (presiden, raja) itu adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bahkan para ulama sepakat bahwa penguasa yang beragama Islam yang memerintah negara-negara umat Islam (yakni negara yang berpenduduk mayoritas muslim) sedang dia enggan mengatur pemerintahannya dengan Syari’at Islam secara kaffah, maka dia dihukumi Murtad.
Menurut para ulama, penguasa-penguasa itu dapat menjadi murtad karena beberapa sebab, di antaranya yang paling penting adalah:
1. Menetapkan undang-undang selain hukum Allah.
2. Menganggap hukum positif buatan manusia lebih baik dan lebih sesuai untuk mengatur negeri mereka daripada hukum Allah.
3. Mendirikan lembaga-lembaga peradilan/mahkamah yang berhukum dengan hukum buatan manusia yang kebanyakan bertentangan dengan hukum Allah.
4. Menganut paham Sekulerisme,Pluralisme dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
5. Menganut paham Demokrasi dan menerapkannya dalam kehidupan di kalangan rakyatnya, sedang demokrasi itu jelas Syirik Akbar hukumnya.
6. Bekerja sama dengan orang-orang kafir dan membantu mereka dalam memerangi Islam dan memerangi kaum muslimin.

Yang terhormat Saudara Presiden, Ketua DPR dan Ketua MPR RI,

Kita harus ingat bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan di akhirat; maka jangan sampai kita salah langkah di dunia, karena akan menjadikan kita rugi di akhirat. Oleh karena itu marilah kita tingkatkan taqwa kepada Allah, jangan sampai kita tertipu oleh keindahan dan kenikmatan dunia ini. Mari kita resapi benar-benar firman Allah berikut:
Hai manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu dan takutlah kepada suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah. (Al-Luqman,
:33)
Jangan sampai karunia yang Allah berikan kepada kita baik berupa harta, anak, ilmu, kedudukan maupun kekuasaan itu membawa kerugian di akhirat sehingga membawa penyesalan, sebagaimana keterangan Allah SWT:dia mengatakan: ”Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku (di akhirat) ini. (Al-Fajr:24)
Dan adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia akan berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kitab ini kepadaku, dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, Wahai kiranya kematian (yang telah aku jalani) itu yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku tidak bermanfaat (untuk menyelamatkan) bagiku; telah hilang kekuasaan dariku.Allah berfirman:peganglah dia lalu belengguhlah tangannya ke lehernya.Kemudian masukkanlah dia kedalam api yang menyala-nyala (Al-Haqqah:25-31)

Maka semua karunia Allah wajib, kita syukuri, kita gunakan untuk taat kepada Allah, agar membawa kesuksesan di akhirat nanti.

Semoga taushiyah dan tadzkirah ini bermanfaat bagi kita semua di dunia dan di akhirat, amin.
Ya Allah saksikanlah bahwa kebenaran (hujjah) ini sudah kami sampaikan menurut kemampuan kami. Ampunilah kelemahan dan kekurangan kami, dan berikanlah petunjuk kepada hamba-hamba yang Engkau pilih dan berikanlah kekuatan kepada kami untuk menegakkan syari’at-Mu. Amin.
Surakarta, 01 Muharram 1428 H.
20 Januari 2007 M.

Jumat, 24 April 2009

mengenang peristiwa 911, wawancara eksklusif denagan syekh usamah bin laden

MENGENANG PERISTIWA 911

WAWANCARA EKSKLUSIF DENGAN SYEKH USAMAH BIN LADEN



11 September 2008, tepat 7 tahun kita mengenang peristiwa 11 September 2001. Banyak orang masih bertanya-tanya siapakah yang berada di balik peristiwa tersebut. Berikut Wawancara Eksklusif Tayseer Allouni (TA) bersama dengan Syekh Usamah Bin Laden (UBL) yang dikutip dari Majalah Al Muhajirun Edisi Khusus. Semoga bermanfaat!
UBL : Semoga Allah menyambutmu (hayyakallah)

TA : Sebuah pertanyaan yang sering diulang-ulang oleh lisan mayoritas manusia di seluruh penjuru dunia: USA (Amerika Serikat) menyatakan bahwa itu bukti yang meyakinkan atas keterlibatan anda dalam peristiwa di New York dan Wasington. Apa jawaban anda atas hal itu?

UBL : Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga kedamaian dan rahmat-Nya tertuju pada Muhammad, keluarganya dan sahabat-sahabatnya. Dilaporkan; mengenai penggambaran aksi-aksi tersebut sebagai aksi teroris maka penggambaran itu adalah sebuah kesalahan. Pemuda-pemuda tersebut telah jelas berjuang di jalan Allah, mereka menggeser perang menuju jantung kota AS dan mereka menghancurkan bangunan yang terkenal yang melambangkan kekuatan militer dan perekonomian AS, itulah kehendak Allah. Dari apa yang kita pahami bahwa mereka melakukan aksi ini supaya kita terdorong untuk bangkit dari tidur yang panjang sebelumnya, dan bisa mempertahankan diri sendiri, mempertahankan saudara-saudara kita, anak-anak yang di Palestina dan untuk membebaskan tempat suci kita. Dan jika dorongan untuk melakukan aksi ini adalah terorisme dan jika membunuh orang yang telah membunuh anak-anak kita adalah teroris, maka biarlah sejarah menyaksikan bahwa kita adalah teroris.

TA : Baiklah, tapi syaikh, orang-orang yang memonitor dan mendokumentasikan perkataan-perkataan anda menghubungkannya dengan sumpah yang anda ucapkan baru-baru ini, anda telah berkata: “ Saya bersumpah demi Allah Yang Maha Kuasa, Dzat yang telah meninggikan langit, bahwa Amerika tidak akan pernah tenang hingga ketenangan itu menjadi sebuah realita begi kita yang hidup di Palestina.” Kemudian aksi-aksi teroris yang terjadi di New York dan Wasington dihubungkan dengan pernyataan anda sebelumnya itu. Lalu apa pendapat anda mengenai opini ini?

UBL : Menghubung-hubungkannya memang mudah. Jika itu memang termasuk ada hubungannya bahwa kita mendorong aksi ini maka saya katakan ya, kami telah mendorong untuk melakukan aksi ini selama bertahun-tahun. Kami melakukan apa yang telah diperbolehkan dalam syari’ah dan banyak dokumen-dokumen mengenai persoalan ini dan seruan dari yang lain untuk mendorong aksi inipun bahkan telah dipublikasikan dan disiarkan keberbagai media. Lalu jika mereka mengartikannya demikian atau jika andapun juga memaknai bahwa ada hubungannya maka itu adalah benar. Kamilah yang mendorongnya dan dorongan inilah yang dibutuhkan saat ini, Allah telah memerintahkan akan hal ini kepada manusia terbaik yaitu Nabi saw.

Allah swt berfirman:

“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya)”. (QS. An-Nisaa’,4: 84).

Apa yang Allah perintahkan atas orang-orang kafir adalah berperang dan memerangi mereka. Jadi kaitannya adalah benar, bahwa kami telah menyebarkan semangat orang-orang mukmin untuk membunuh orang-orang Amerika dan Yahudi. Itu benar.

TA : Baik Syeikh Usama bin Laden, Organisasi Al-Qaidah yang ditemui saat ini bertujuan untuk mendominasi dunia secara militer, politik dan teknologi. Lalu dengan alasan apa Al-Qaidah yang secara kemampuan materi tidak mencukupi datang untuk menghancurkan kemampuan yang dimiliki AS, dengan logika apa yang disepakati oleh organisasi seperti Al-Qaidah, untuk mengalahkan militer AS, misalkan saya ambil contoh demikian?

UBL : Alhamdulillah… saya katakan bahwa perang yang terjadi bukanlah antara organisasi Al-Qaidah (tandzim Al-Qaidah) dengan dunia salib. Perang yang terjadi adalah antara kaum muslimin (orang-orang mukmin) dengan dunia salib. Organisasi Al-Qaidah itu dengan keagungan Allah, digunakan oleh saudara-saudara Mujahid kita di Afghan dan orang-orangpun juga menggunakan kata-kata seperti itu dan bahkan lebih kuat lagi dengan mengatakan: “Bagaimana mungkin kamu dapat mengalahkan kekuasaan Soviet?” pada saat itu kekuasaan Soviet adalah kekuatan yang kuat, bahkan sangat kuat, kekuatan yang menakuti seluruh dunia dan NATO pun terguncang dalam ketakutan di depan kekuasaan Soviet. Lalu Allah swt mengirimkan kekuatan yang kuat kepada kita dan saudara-saudara Mujahid kita.

Kekuasaan Soviet menjadi sangat kecil dan tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kekuasaan Allah. Hari ini tidak ada lagi kekuasaan Soviet di sini, mereka terpecah menjadi kesatuan yang kecil dan hancur yang pada akhirnya meninggalkan Afghanistan. Allah telah menguatkan kita dan menstabilkan kedudukan kita untuk mengalahkan kekuasaan Soviet, begitupun juga akan mampu untuk menguatkan kita lagi dan mengizinkan kita untuk mengalahkan Amerika di tanah yang sama dan dengan perkataan yang sama, itulah kemuliaan Allah swt. Jadi kita percaya bahwa mengalahkan Amerika adalah sesuatu yang bisa tercapai dengan izin Allah swt, itu mudah bagi kita dengan izin Allah swt sebagaimana kita mengalahkan kekuatan Soviet sebelumnya.

TA : Bagaimana anda berfikir itu mudah? Kenapa anda berpikir itu mudah?

UBL : Kami telah mencoba… seperti saudara-saudara kita yang melakukan perang dengan Amerika, mirip dengan contoh di Somalia. Kami belum mendapati sebelumnya sebuah kekuatan yang dapat disebutkan. Ada banyak kekaguman tentang Amerika, yang digunakan untuk menakut-nakuti orang-orang sebelum melakukan perang. Jadi saudara-saudara kita yang berada di Afghanistan berusaha (melakukan hal yang terbaik) dan Allah memperjelas jalan bagi mereka dengan beberapa orang mujahid di Somalia, lalu Amerika mundur menarik diri dibelakang tali-tali kehinaan, terkalahkan dan kehilangan segala apa yang dimiliki tanpa bisa kembali dan tanpa kembali, melupakan semua bahwa media secara besar-besaran yang menginformasikan tentang Pemerintahan Dunia Baru, bagaimana penguasa itu memerintah dan bisa melakukan apa saja yang disukainya. Pada faktanya semua itu telah terlupakan, mereka menjemput tentaranya dan mencoba kembali akan tetapi tetap kalah dengan izin Allah Ta’ala. Kemudian kami mencoba berperang melawan Rusia dari tahun 1979 hingga 1989, selama 10 tahun dengan kemuliaan Allah swt, lalu kami melanjutkan perlawanan terhadap komunis di Afghanistan. Hari ini kami berada di akhir minggu kedua dan apa perbedaannya seperti malam dan siang antara kedua peperangan tersebut kami mohon kepada Allah swt untuk menguatkan kami dengan pertolongannya dan menghancurkan Amerika, karena Allah mampu untuk melakukannya.

TA : Baik syeikh, berhubungan dengan tempat, anda katakan bahwa kami akan mengalahkan Amerika di tempat ini. Tidakkah anda berpikir bahwa eksistensi organisasi Al-Qaidah di tanah Afghanistan membuat penduduk Afghanistan membayar dengan harga yang mahal?

UBL : Baik, pandangan itu adalah parsial (sebagian) dan tidak menyeluruh serta hanya berasal dari satu sisi. Ketika kita datang pertama di Afghanistan dan ketika kami datang untuk membawa kemenangan atas para Mujahid pada saat Rusia masuk tahun 1399 Hijriyah (1979 M), pemerintah Saudi secara resmi meminta kami untuk tidak masuk ke Afghanistan. Seyogyanya saya masuk ke Afghanistan, dan karena kedekatan keluarga saya dengan sistem pemerintahan Saudi, sebuah surat datang memerintahkan kepada Usamah untuk tidak masuk ke Afghanistan, dan untuk tetap tinggal dengan Muhajirin (para imigran) di Peshawar, sebab dalam kasus ini Rusia hendak menangkap Usamah, itu merupakan bukti yang menunjukkan bahwa Saudi mendukung para mujahid melawan kekuasaan Soviet. Selama kurun waktu itu, seluruh dunia terguncang dalam ketakutan terhadap kekuasaan Soviet, dan saya tidak melebih-lebihkan tentang larangan ini (untuk masuk ke Afghanistan), lalu dari poin pandangan mereka, tampaknya hal ini merusak mereka. Mereka terdesak karena opini-opini mereka (orang-orang kafir). Ketika kami datang ke Afghanistan pertama kali, kami memikul apa yang menjadi beban kami, dalam keinginan untuk hidup dalam syari’ah Islam, dan mengamankan anak-anak muslim dan keturunan mereka di Afghanistan, serta memberikan kemenangan atas dien (agama) itu adalah sebuah keajaiban atas semua umat muslim, tidak hanya di Afghanistan. Jika saya pergi atau beberapa saudara saya datang untuk jihad, malaksanakan tugas ini, yaitu untuk membawa kemenangan kepada saudara-saudara kita di Palestina, maka tidak bermakna bahwa Usamah sendiri untuk memikul tugas ini, akan tetapi ini adalah sebuah tugas (wajib) atas semua ummat Islam untuk memikulnya karena pelaksanaan ini berada di jalan Allah dan jihad adalah tujuan semua muslim kita saat ini, di Afghanistan ataupun di tempat yang lain. Itu adalah benar bahwa mereka memikulnya, akan tetapi ini adalah sebuah tugas Islam (wajib syar’i) dan sebuah kewajiban atas mereka dan yang lain untuk mendukung ini (fisabilillah)…”

TA : Mari kita kembali kepada apa yang terjadi…

UBL : …untuk permasalahan yang dihubungkan dengan bom dari Afghanistan yang ditujukan pada kita (para mujahid), itu alasan yang tidak personal. Tidakkah Amerika yang memulai dengan mengambil uang saya, bukankah tindakan Amerika itu telah merugikan saya, sudah menjadi tugas kita untuk mengobarkan semangat melawan orang-orang Yahudi dan Amerika untuk melindungi ummat Islam. Secara fakta Amerikalah yang melawan penegakan negara Islam dan Amir ummat muslim (Amirul Mukmunin, Mullah Muhammad ‘Umar dari Kandahar) yang telah diumumkan lebih dari satu kesempatan oleh Amerika, Amerika juga melawan banyak anggota Taliban, mengindikasikan bahwa mereka adalah obyek target karena agama mereka, tidak hanya karena keberadaan Usamah bin Laden seperti yang beliau (Mullah Umar) katakan, Inggris datang dan mereka dikalahkan di Afghanistan sebelum Usamah ada di sini, Rusiapun datang sebelum Usamah ada dan sekarang Amerika datang. Kami mohon kepada Allah untuk mengalahkan mereka seperti Allah telah mengalahkan musuh-musuh mereka sebelumnya.

TA : Mari kita tengok kembali pelanggaran hukum yang terjadi di NewYork dan Washington. Apa analisa anda tentang apa yang terjadi, tentang pengaruhnya terhadap Amerika dan pengaruhnya terhadap dunia Islam? Pertanyaannya ada dalam 2 bagian, mohon dijawab.

UBL : Saya katakan bahwa kejadian pada hari selasa 11 September di New York dan Washington adalah kejadian yang benar-benar peristiwa yang besar dalam semua aspek, komentar-komentar yang muncul seputar kejadian tersebut tidak jauh dari hal itu dan kejadian ini masih akan berlanjut. Jika runtuhnya dua menara kembar yang tepat dititik pusat menara merupakan kejadian yang besar maka pertimbangkanlah efek samping yang diakibatkannya setelah itu… mari kita bicarakan tentang pengaruhnya dalam aspek ekonomi yang masih terasa hingga saat ini. Sesuai dengan daftar yang mereka miliki, bagian dari dinding jalan pasar yang hancur mencapai 16%. Mereka mengatakan bahwa jumlah (angka) ini adalah sebuah rekor, karena kejadian ini tidak pernah terjadi semenjak pembukaan pasar lebih dari 230 tahun yang lalu. Ini adalah jumlah kehancuran yang besar yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Jumlah kotor perdagangan di swalayan mencapai 4 trilyun dolar. Lalu jika kita lipat gandakan 16% dengan 4 trilyun dolar Amerika maka didapatkan keterangan kehilangan yang mempengaruhi persediaan yang mencapai 640 miliyar dolar Amerika, dengan kehendak dan kemuliaan Allah swt. Jumlah ini setara dengan neraca keuangan Sudan selama 640 tahun. Mereka telah kehilangan ini karena sebuah serangan yang sukses dengan izin Allah hanya dalam 1 jam terakhir. Pemasukan perhari dari bangsa Amerika adalah 20 Milyar dollar Amerika. Pada minggu pertama mereka tidak bekerja karena semuanya menderita syok secara psikis atas serangan tersebut, dan bahkan hingga hari ini sebagian dari mereka belum bekerja karena trauma serangan 11 September. Jika kamu melipatgandakan 20 milyar dolar Amerika dalam 1 minggu, maka yang keluar berjumlah 140 milyar dolar Amerika, dan bahkan bisa mencapai lebih besar dari ini. Jika kamu menambahkan 640 milyar dolar Amerika, kita telah mencapai berapa banyak? Rata-rata 800 milyar dolar Amerika. Biaya pembangunan gedung dan konstruksi yang hancur berapa? Mungkin dapat kami katakan lebih dari 30 milyar dolar Amerika. Lalu mereka yang terbakar dalam kejadian ini atau hilang hingga hari ini atau pasangan-pasangan yang terbakar beberapa hari yang lalu? Dari rombongan yang ada di pesawat lebih dari 170.000 pekerja, itu termasuk muatan yang ada di pesawat, perniagaan pesawat, kelompok studi Amerika, dari analisa yang disebutkan bahwa 70% rakyat Amerika hingga saat ini masih menderita depresi dan trauma psikis setelah kejadian dari 2 menara kembar tersebut serta serangan atas menteri pertahanan Pentagon, puji syukur kepada Allah swt.

Salah satu hotel terkenal Amerika dikalangan antar benuapun tak luput ikut terbakar dalam kejadian tersebut beserta 20.000 pekerjanya, puji syukur kepada Allah swt. Orang-orang mengatakan tidak bisa mengkalkulasikan satu persatu kerugian yang mereka derita karena banyaknya korban dan rumitnya kerusakan yang ada, dan bisa jadi skala kerugian yang telah dikalkulasikan sebelumnya lebih meningkat lagi, terima kasih ya Allah. Bisa kita lihat bahwa jumlah perkiraan kerugian yang terbawah kurang lebih 1 trilyun dolar Amerika. Puji syukur kepada Allah swt, karena telah mensukseskan secara penuh dan merahmati serangan tersebut. Kami berdo’a kepada Allah untuk menerima saudara-saudara muslim kita yang menduduki syahid dan menerima mereka untuk dimasukkan pada tingkatan syurga yang tertinggi.

Saya prediksikan bahwa akan hadir lagi kejadian-kejadian lain yang terjadi, yang lebih besar, lebih dahsyat dan lebih berbahaya dari keruntuhan 2 menara kembar tersebut. Dalam peradaban Barat yang menjadi sandaran Amerika, banyak sekali ditemukan nilai-nilai. Bangunan materialistik dapat dihancurkan untuk mencapai kebebasan, hak-hak manusia dan persamaan hak. Sebuah penghinaan secara total yang nampak jelas ketika pemerintah AS melakukan intervensi dan melarang media untuk melakukan siaran tidak lebih selama beberapa menit karena mereka merasa bahwa kebenaran mulai nampak di kalangan masyarakat Amerika bahwa kami sebenarnya bukanlah teroris dengan definisi yang mereka inginkan akan tetapi kami adalah orang-orang yang dianiaya di Palestina, Iraq, Libanon, Sudan, Somalia, Kasmir, Filipina dan diberbagai tempat dan ini adalah reaksi dari pemuda dari ummat ini untuk melawan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah Inggris. Oleh karena itu mereka mendeklarasikan apa yang mereka deklarasikan, mereka memerintah apa yang mereka perintah dan mereka telah melupakan segala sesuatu yang telah mereka sebutkan tentang kebebasa berbicara dan tidak memihak opini dalam semua persoalan. Saya katakan bahwa kebebasan dan hak-hak di Amerika serta hak-hak azasi manusia yang telah mereka ajarkan, mereka penggal (hilangkan) sendiri, tidak mereka tempatkan kecuali jika mereka dibutuhkan kembali untuk ditempatkan. Pemerintahan Amerika akan menjadikan orang-orang Amerika dan rakyat Barat secara umum masuk ke dalam kehidupan yang mencekik dan mendorong mereka tercebur ke dalam neraka, sebab secara fakta orang-orang yang ada dalam pemerintahannya sangat kuat mengikat mereka (rakyatnya) dan mereka dilupakan oleh Zionis Yahudi untuk melayani kebutuhan Israel membunuh anak-anak kami dan keturunan-keturunan kami tanpa hak lalu mereka mengontrol hukum secara penuh.

TA : Tentang pengaruh atas aksi-aksi tersebut di dunia Islam, ternyata ada perbedaan pendapat. Ada sebagian yang mengatakan bahwa sesuatu yang terjadi itu adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam dunia Islam dan andapun juga mendengar semua pernyataan secara resmi serta pernyataan yang dibuat oleh orang-orang yang senantiasa mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan serangan itu adalah teroris, dan telah membunuh penduduk yang tidak berdosa, kami tidak akan menerima orang-orang semacam itu dan orang-orang yang tidak menyerukan kedamaian bersama dengan agama Islam modern, serta tidak akan menerima orang-orang yang sepaham dengan mereka. Lalu apa pendapat anda mengenai berita-berita yang mampu anda ikuti yang terjadi di dunia Islam dengan jaringan yang anda miliki atau pendapat anda tentang semua yang terjadi di dunia saat ini?

UBL : Saya katakan bahwa kejadian-kejadian tersebut cukup membuktikan dengan jelas akan terorisme Amerika yang berdampak di dunia. Bush hanya menerima 2 macam manusia: pertama Bush dam pengikutnya, kedua, ummat yang lain yang tidak mengikuti perintah Bush atau dunia perang salib, lalu mereka akan menjulukinya dengan teroris. Lalu terorisme macam apa yang lebih mengerikan dan lebih jelas daripada itu? Ada banyak negara yang tidak bisa berkomentar tentang diri mereka sendiri, mereka mengikuti dunia yang kuat tentang definisi terorisme, dan mereka dipaksa sejak saat itu bahwa mereka bersama dengan Bush (di pihak Bush). Padahal mereka semua mengetahui tanpa keraguan bahwa kami berperang untuk melindungi saudara-saudara kami dan tempat suci kami. Kemudian mereka mendeklarasikan bahwa pemimpin-pemimpin kami baik di timur atau di barat, merekalah penyebabnya dan akar dari terorisme yang harus ditinggalkan. Setelah ditanya siapakah mereka, menjawab, itu berkaitan dengan persoalan Palestina. Kami menjadi bagian dari persoalan Palestina, akan tetapi karena takut kepada Amerika, mereka tidak mengatakan persoalan kita secara adil lalu mereka menyebut kita sebagai teroris dan meminta kita untuk memperbaiki isu Palestina. Kemudian didasarkan atas orang-orang yang melakukan aksi 11 September baru-baru ini dan atas apa yang terjadi, Bush dan Blair bergerak dan berkata sekaranglah waktunya untuk menciptakan negara Palestina yang merdeka. Subhanallah, ini adalah kalimat yang sangat mengherankan!! Selama waktu 10 tahun terakhirpun itu tidak terjadi (negara Palestina yang independen) hingga serangan itu terjadi?? Lalu mereka (kaum muslimin pun) belum juga tersadar! Tanpa bahasa mengalahkan dan membunuh seperti halnya mereka (orang-orang kafir) membunuh kita (kaum muslimin), tanpa ada keraguan kemudian kami membunuh mereka hingga kami mendapatkan keseimbangan dalam teror. Inilah pertama kalinya skala teror mendapatkan kedekatan antara dua sisi yaitu ummat muslim dan Amerika dengan kejadian akhir-akhir ini (11 September). Orang-orang Amerika telah berbuat terhadap kita apa saja yang mereka sukai dan korban dari kitapun berjatuhan, tidakkah itu menimbulkan jeritan tangis? Kemudian Cinton muncul di publik dan mengatakan kepada kita bahwa Israel itu benar karena mempertahankan diri mereka sendiri setelah mereka (Israel) melakukan pembunuhan (pembantaian) di Qonaa (Libanon). Mereka (Amerika) tidak memberikan peringatan sama sekali terhadap Israel!

Ketika presiden baru Bush datang bersama menteri Colin Powell, bulan pertama pemerintahan mereka, mereka mengatakan bahwa mereka akan menggerakkan pasukan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem dan Jerusalem akan menjadi ibukota abadi Israel, adapun konggres dan majelis tinggi AS bertepuk tangan untuk mereka.

Itu adalah bentuk kemunafikan di atas kemunafikan, dan jelas-jelas sebuah penganiayaan. Mereka (orang-orang kafir itu) tidak akan pernah sadar akan apa yang mereka lakukan kecuali kalau serangan dijatuhkan di atas kepala-kepala mereka dan bersama dengan keagungan Allah SWT, perang digerakkan ke jantung kota Amerika. Kami akan terus berjuang atas izin Allah hingga kemenangan dapat tercapai atau hingga kami bertemu Allah SWT (melalui Syahid).

TA : Tapi Syeikh, berdasar atas apa yang saya lihat dari jawaban-jawaban anda, anda katakan mereka selalu mengait-ngaitkan dengan isu Palestina dan orang-orang Palestina. Saya bertanya kepada anda, berkaitan dengan pernyataan-pernyataan anda yang terakhir atau tepatnya pernyataan bahwa beberapa tahun yang silam telah diajarkan untuk membunuh orang-orang Yahudi dan pelaku Perang Salib dan kami masih ingat akan sebuah hadits yang terkenal, “Usirlah orang-orang musyrik dari Jazirah Arab” (HR Bukhari No. 2932 dan Muslim No. 3089), anda berkonsentrasi untuk mengusir orang-orang Amerika dari jazirah Arab. Perkataan anda yang terakhir kami lihat mengarah ke sana. Anda meletakkan kelayakan atas isu Palestina atau sepertinya anda menyerukan juga isu tentang Aqsa pada garis terdepan dan anda menggerakkan isu dari Haramain untuk penekanan kedua. Lalu apa opini atau argumen anda mengenai hal ini?

UBL : Saya katakan tanpa ada keraguan bahwa jihad itu diperintahkan atas semua muslim (fardhu ‘ain) untuk membebaskan Aqsa atau untuk menyelamatkan Palestina, Libanon, Iraq dan semua tanah-tanah Islam. Tidak ada keraguan bahwa pembebasan jazirah Arab dari orang-orang musyrik juga diperintahkan atas semua muslim (fardhu ‘ain).
Berkaitan perkataan bahwa Usamah meletakkan isu Palestina di garis terdepan itu tidak benar. “ Al-Abd Al-Faqir” (Syekh UBL) pada tahun 1407 H telah mengatakan perkataan untuk mengobarkan semangat ummat muslim untuk memboikot produk-produk Amerika dan saya menggunakan perkataan bahwa Amerika telah mengambil uang-uang kita dan memberikannya kepada Yahudi sehingga mereka dapat membunuh anak-anak kita di Palestina. Diperintahkan atas semua ummat muslim (fardhu ‘ain) untuk melakukan jihad seperti yang terjadi di Kashmir, begitu juga seperti perang yang telah terjadi beberapa tahun yang lalu yang disebut: Front Islam Untuk Jihad melawan orang-orang Yahudi dan Salibiyyin.”(Al-Jabha Al-Islamiyyah lil Jihad Dudda Al Yahuud wal Salibiyin). Lalu kami menyebutkan 2 topik atau 2 isu yang keduanya sama-sama penting. Beberapa kejadian penting akhir-akhir ini telah mendorong seseorang untuk berpindah ke isu yang lain lalu kami berjuang secara langsung terhadap isu tersebut tanpa menafikan isu kaum muslimin yang lain.[rofx/grb]

islam dan tantangan demokrasi


Islam dan Tantangan Demokrasi
Dapatkah hak-hak individu dan kedaulatan rakyat dilandaskan pada keimanan?

Seorang ahli hukum Muslim klasik yang menulis tema tentang Islam dan pemerintahan akan memulai tulisannya dengan membedakan jenis sistem politik. Pertama-tama, ia akan menggambarkan sistem politik natural–sebuah dunia anarkis, tak berperadaban, dan primitif. Di dalamnya, kelompok yang paling kuat menguasai kelompok yang lemah. Tidak ada hukum; yang ada hanya tradisi. Tidak ada pemerintahan; yang ada hanya pemimpin-pemimpin suku yang ditaati selama mereka dianggap sebagai yang terkuat.
Para ahli hukum itu kemudian akan menggambarkan sistem kedua, yang diperintah oleh seorang pangeran atau raja yang titahnya dipandang sebagai hukum. Karena hukum ditetapkan dengan kehendak sewenang-wenang penguasa, dan rakyat menaatinya semata karena sebuah keharusan dan paksaan, sistem ini juga dipandang sebagai bentuk tirani dan tidak memperoleh legitimasi.
Yang ketiga adalah sistem yang paling baik, yaitu sistem khilafah, yang didasarkan pada Syariat–batang tubuh hukum agama Islam yang dilandaskan pada Alquran dan perilaku serta perkataan nabi. Menurut para ahli hukum Muslim, hukum Syariat memenuhi kriteria keadilan dan legitimasi, dan mengikat rakyat dan juga penguasa. Karena ia didasarkan pada aturan hukum dan menolak otoritas manusia atas manusia lainnya, sistem khilafah dipandang lebih unggul dari pada sistem lainnya.
Untuk mendukung aturan hukum dan pemerintahan yang tidak tak terbatas, para ulama klasik menganut unsur-unsur inti yang dipraktikkan dalam sistem demokrasi modern. Namun, pemerintahan yang tidak tak terbatas dan aturan hukum hanyalah dua unsur dari sebuah sistem pemerintahan yang saat ini memiliki klaim legitimasi yang paling meyakinkan. Kekuatan moral demokrasi terletak pada gagasan bahwa warga negara sebuah bangsa adalah pemilik kedaulatan, dan–dalam sistem demokrasi representatif modern–para warga mewujudkan kehendaknya yang tertinggi dengan memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dalam sebuah sistem demokrasi, rakyat adalah sumber hukum dan hukum pada gilirannya berfungsi menjamin perlindungan terhadap kesejahteraan dan kepentingan setiap orang yang memiliki kedaulatan itu.
Dari sudut pandang Islam, demokrasi menyuguhkan sebuah tantangan yang sangat berat. Para ahli hukum Muslim berargumen bahwa hukum yang dibuat oleh sebuah sistem kerajaan dipandang tidak sah karena ia menggantikan kedaulatan Tuhan dengan otoritas manusia. Tapi hukum yang dibuat oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan juga mengandung persoalan legitimasi serupa. Dalam agama Islam, Tuhan adalah satu-satunya pemegang kedaulatan dan sumber hukum tertinggi. Jadi, bagaimana konsep demokrasi tentang otoritas rakyat dapat diserasikan dengan ajaran Islam tentang otoritas Tuhan?
Menjawab pertanyaan ini sangat penting sekaligus luar biasa beratnya, baik dari sisi politis maupun dari sisi konsep. Dari sisi politis, sejak awal kita harus tegaskan bahwa demokrasi menghadapi sejumlah kendala praktis di negara-negara Islam–berbagai tradisi politik otoriter, sejarah imperialisme dan kolonialisme, dan dominasi negara terhadap aktivitas ekonomi dan kehidupan masyarakat. Kita juga perlu mengemukakan persoalan filosofis dan doktrinal, dan saya mengusulkan agar kita berkonsentrasi pada persoalan tersebut untuk memulai diskusi kita tentang kemungkinan penerapan demokrasi di dunia Islam.
Sebuah persoalan konseptual yang paling penting adalah bahwa demokrasi modern telah berkembang selama berabad-abad dalam konteks dunia Eropa Kristen pasca Reformasi yang sangat unik. Apakah masuk akal bila kita mencari titik temu pada sebuah konteks yang sangat jauh berbeda? &&& Jawaban saya dimulai dari premis bahwa demokrasi dan Islam didefinisikan berdasarkan nilai-nilai moral utama yang mendasarinya, serta komitmen para pelakunya–bukan berdasarkan cara penerapan nilai-nilai dan komitmen tersebut. Jika kita berkonsentrasi pada nilai-nilai moral yang mendasar itu, saya yakin, kita akan menyaksikan bahwa tradisi pemikiran politik Islam memuat kemungkinan-kemungkinan interpretatif maupun praktis yang dapat dikembangkan ke dalam sebuah sistem demokrasi. Jelasnya, kemungkinan-kemungkinan doktrinal ini bisa saja tidak terwujud: tanpa kekuatan kehendak, visi yang tercerahkan, dan komitmen moral, tidak akan terwujud sebuah demokrasi dalam Islam. Tapi, orang-orang Islam, yang menjadikan Islam sebagai kerangka rujukan yang otoritatif, akhirnya bisa meyakini bahwa demokrasi adalah sebuah kebaikan etis, dan bahwa upaya mengejar kebaikan tersebut tidak berarti harus meninggalkan Islam.

Demokrasi dan Kedaulatan Tuhan
Meskipun para ahli hukum Muslim telah memperdebatkan berbagai sistem politik, Alquran sendiri tidak menjelaskan secara spesifik bentuk pemerintahan tertentu. Tapi Alquran jelas-jelas menyebutkan seperangkat nilai sosial dan politis yang penting bagi sebuah pemerintahan Islam. Tiga nilai Qurani berikut ini memiliki signifikansi khusus: mencapai keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu (Q.S. 49:13, 11:119); membangun sebuah sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis; dan melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial (Q.S. 6:12, 54; 21:77; 27:77; 45:20). Jadi, orang-orang Islam dewasa ini harus menyokong sebuah bentuk pemerintahan yang paling efektif untuk membantu mereka mewujudkan nilai-nilai tersebut.

Kasus demokrasi

Beberapa pertimbangan mengungkapkan bahwa demokrasi–terutama demokrasi konstitusional yang melindungi hak-hak individu yang paling mendasar–adalah bentuk pemerintahan yang dimaksud. Argumentasi saya (argumentasi lainnya akan disebutkan kemudian) adalah bahwa demokrasi–dengan memberikan hak yang sama kepada semua orang untuk berekspresi, berkumpul, dan menggunakan hak pilih–menawarkan peluang yang paling besar untuk menjunjung keadilan dan melindungi martabat manusia, tanpa menjadikan Tuhan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas ketidakadilan yang diderita manusia, atau atas penghinaan terhadap manusia oleh manusia lainnya. Gagasan mendasar dalam Alquran adalah bahwa Tuhan telah menanamkan ke dalam diri manusia sifat-sifat ilahi dengan menjadikan semua manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (Q.S. 2:30). Secara khusus, manusia memiliki tanggung jawab, sebagai wakil Tuhan di bumi, untuk memenuhi dunia dengan keadilan. Dengan memberikan hak-hak politik yang sama terhadap semua orang yang sudah dewasa, demokrasi mengekspresikan kedudukan khusus manusia di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan, dan memungkinkan manusia melepas tanggung jawab tersebut. discharge
Tentu saja, khalifah Tuhan tidak memiliki kesempurnaan penilaian dan kehendak seperti yang dimiliki Tuhan. Jadi, sebuah demokrasi konstitusional mengakui dan mengantisipasi kesalahan dalam pengambilan keputusan akibat berbagai godaan dan keburukan yang terkait dengan kesalahan alami manusia dengan cara memancangkan standar-standar moral unggulan dalam sebuah dokumen konstitusi–berbagai standar moral yang mengekspresikan martabat manusia. Jelasnya, demokrasi memang tidak menjamin terlaksananya keadilan hakiki. Tapi ia dengan sungguh-sungguh membangun sebuah landasan untuk menegakkan keadilan dan memenuhi tanggung jawab paling utama yang diamanatkan Tuhan kepada semua individu.
Tentu saja, dalam sebuah demokrasi representatif, beberapa individu tertentu memiliki otoritas yang lebih besar dari pada individu lainnya. Tapi sebuah sistem demokrasi menjadikan otoritas tersebut sebagai bentuk tanggung jawab terhadap semua orang dan dengan demikian menentang kecenderungan kebal hukum dari orang-orang yang berkuasa. Persyaratan tentang pertanggungjawaban ini selaras dengan perintah untuk menegakkan keadilan yang diajarkan Islam. Jika sebuah sistem politik tidak memiliki mekanisme institusional untuk meminta pertanggungjawaban dari seorang penguasa yang tidak adil, maka sistem itu sendiri dipandang sebagai sistem yang tidak adil, tanpa memandang apakah ketidakadilan tengah berlangsung atau tidak. Jika sebuah hukum kriminal tidak memberikan hukuman terhadap tindak pemerkosaan, maka hukum itu dipandang tidak adil, tidak peduli apakah tindak kejahatan itu terjadi atau tidak. Karena kebaikan moral yang ada pada demokrasi itulah, yaitu adanya lembaga pemilihan suara, pemisahan dan pembagian kekuasaan, dan jaminan terhadap pluralisme, demokrasi setidaknya menawarkan kemungkinan untuk melakukan perbaikan.
Kita memiliki sebuah kasus uji coba demokrasi yang dibangun atas dasar gagasan Islam tentang kedudukan khusus manusia di antara makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dikatakan uji coba karena kita belum pernah mengkaji tantangan serius dari kasus tersebut: bagaimana hukum Syariat, yang dibangun atas dasar kedaulatan Tuhan, bisa didamaikan dengan gagasan demokrasi bahwa manusia, sebagai pemegang kedaulatan, dengan bebas dapat mengabaikan hukum Syariat?


Tuhan sebagai pemegang kedaulatan

Pada awal sejarah Islam, persoalan tentang kekuasaan politik Tuhan (hakimiyyat Allah) mulai dimunculkan oleh kelompok yang dikenal dengan sebutan Haruriyya (belakangan dikenal sebagai kelompok Khawarij) ketika mereka memberontak terhadap Khalifah keempat, ‘Ali ibn Abi Thalib. Sebelumnya mereka adalah pendukung ‘Ali, namun kemudian berbalik menjadi penentangnya, ketika ‘Ali setuju dengan proses arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan politik dengan kelompok politik saingannya yang dipimpin oleh Mu‘awiyah.
‘Ali sendiri setuju untuk melakukan arbitrase dengan syarat bahwa para arbitrator terikat dengan Alquran, dan menjadikan syariat sebagai bahan pertimbangan tertinggi. Namun, kelompok Khawarij–yang terdiri dari orang-orang yang saleh, puritan dan fanatik–yakin bahwa hukum Tuhan jelas berpihak pada ‘Ali. Jadi mereka menentang proses arbitrase sebagai hal yang jelas-jelas tidak sah dan merupakan bentuk penentangan terhadap kedaulatan Tuhan. Menurut kelompok Khawarij, tindakan ‘Ali menunjukkan bahwa ia telah mengabaikan kedaulatan Tuhan dengan menyerahkan pembuatan keputusan kepada manusia. Mereka memandang ‘Ali telah mengkhianati Tuhan, dan setelah upaya untuk mencari penyelesaian secara damai gagal dilakukan, mereka membunuh ‘Ali. Setelah kematian ‘Ali, Mu‘awiyah mengambil alih kekuasaan dan mengangkat dirinya sebagai khalifah dinasti Umayyah yang pertama.
Anekdot-anekdot tentang perdebatan antara ‘Ali dengan kelompok Khawarij mencerminkan sebuah ketegangan yang sangat jelas tentang makna legalitas dan dampaknya terhadap aturan hukum. Dalam sebuah anekdot dilaporkan bahwa anggota kelompok Khawarij menuduh ‘Ali telah menerima keputusan dan kekuasaan (hakimiyah) manusia, bukannya tunduk pada hukum Tuhan. Setelah mendengar tuduhan itu, ‘Ali memanggil orang-orang agar berkumpul di sekelilingnya dan membawa sebuah mushaf Alquran. ‘Ali kemudian menyentuh mushaf itu dan menyuruhnya agar berbicara kepada manusia dan menginformasikan kepada mereka tentang hukum Tuhan. Karena terkejut, orang-orang yang mengelilingi ‘Ali itu kemudian berkata, “Apa yang kamu lakukan? Alquran tidak bisa bicara, karena ia bukan manusia!” Lalu ‘Ali mengatakan bahwa itulah yang ia maksudkan. ‘Ali menjelaskan bahwa Alquran tidak lain adalah kertas dan tinta, dan ia sendiri tidak bisa berbicara. Hanya manusia yang memberinya daya sesuai dengan keputusan dan pendapat mereka yang terbatas itu.
Kisah-kisah semacam itu merupakan tema yang mengandung beragam penafsiran, tapi yang terpenting adalah bahwa kisah yang satu ini menunjukkan kedangkalan dogmatis dari pengakuan tentang kedaulatan Tuhan yang berujung pada pengkudusan terhadap penetapan manusia. Slogan kelompok Khawarij bahwa “kekuasaan hanyalah milik Allah,” atau “keputusan hanya dari Alquran” (la hukma illa lillah atau al-hukm lil Qur’an) hampir mirip dengan slogan yang dikumandangkan oleh kelompok fundamentalis dewasa ini. Tapi, dengan mempertimbangkan konteks historisnya, slogan kaum Khawarij itu pada awalnya merupakan simbol tentang legalitas dan supremasi hukum yang kemudian dibelokkan menjadi sebuah tuntutan radikal untuk menarik garis pembatas yang tegas antara yang sah (benar) dan yang tidak sah (batil).
Bagi orang-orang yang beriman, Tuhan adalah Maha Kuasa dan Pemilik langit dan bumi. Tapi ketika berbicara tentang hukum dalam sebuah sistem politik, argumentasi-argumentasi yang mengklaim bahwa Tuhan merupakan satu-satunya pembentuk hukum menghasilkan dampak serius yang tidak bisa dipertahankan dari sudut pandang teologi Islam. Argumentasi semacam itu mengandaikan bahwa (beberapa) agen manusia memiliki akses yang sempurna terhadap kehendak Tuhan, dan bahwa manusia dapat menjadi pelaksana sempurna dari kehendak Tuhan tanpa sedikitpun menyertakan keputusan dan kecenderungan mereka dalam proses tersebut.
Lebih jauh lagi, klaim tentang kedaulatan Tuhan mengasumsikan bahwa pemegang kekuasaan legislatif dari Tuhan akan berusaha mengatur semua bentuk interaksi manusia, bahwa Syariat merupakan aturan moral yang lengkap yang menyediakan aturan tentang semua peristiwa. Tuhan sendiri tidak berusaha mengatur seluruh kehidupan manusia, tapi justru memberikan manusia kebebasan yang sangat luas untuk mengatur urusan mereka sendiri selama mereka tetap mengikuti standar perilaku yang bermoral, termasuk di dalamnya segala bentuk upaya untuk melestarikan dan menjunjung tinggi martabat dan kesejahteraan manusia. Dalam diskurus Alquran, Tuhan memerintahkan semua ciptaan-Nya untuk menghormati manusia karena kecerdasan akalnya–sebagai cerminan keagungan Tuhan. Secara argumentatif bisa dikatakan bahwa kenyataan bahwa Tuhan telah menghormati akal manusia dan memandang manusia sebagai simbol ketuhanan sudah cukup memadai untuk memberikan pembenaran terhadap komitmen moral untuk melindungi dan melestarikan integritas dan martabat dari simbol ketuhanan itu (manusia). Tapi–dan inilah yang dimaksudkan ‘Ali–kedaulatan Tuhan tidak serta merta membebaskan manusia dari tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan.
Ketika manusia mencari jalan untuk mendekati keindahan dan keadilan Tuhan, maka ia tidak dipandang telah menolak kedaulatan Tuhan; ia justru sedang mengagungkannya. Begitu pula halnya ketika manusia berusaha menjaga nilai-nilai moral yang mencerminkan sifat-sifat Tuhan. Jika kita katakan bahwa satu-satunya sumber hukum yang sah adalah teks kitab suci dan bahwa pengalaman dan kecerdasan manusia tidak memadai untuk mengetahui kehendak Tuhan, maka konsep tentang kedaulatan Tuhan akan selalu menjadi alat bagi sistem otoritarianisme dan hambatan bagi demokrasi. Dan sudut pandang otoriter tersebut justru merendahkan kedaulatan Tuhan.
Saya akan mengembangkan argumentasi itu lebih jauh lagi pada halaman selanjutnya, tapi untuk membuat persoalan tersebut lebih menarik dan mudah diikuti, saya pertama-tama perlu mambangun sebuah landasan yang lebih luas bagi doktrin politik dan hukum Islam.

Pemerintahan dan Hukum

Jika, seperti yang diyakini oleh kaum fundamentalis Muslim dan para orientalis Barat, kekuasaan dan kedaulatan Tuhan berarti bahwa Tuhan merupakan satu-satunya pembuat hukum, maka konsekuensinya adalah bahwa seorang khalifah atau penguasa Muslim harus diperlakukan sebagai agen atau wakil Tuhan. Jika Tuhan adalah satu-satunya pemegang kedaulatan dalam sebuah sistem politik, maka seorang penguasa harus diangkat berdasarkan kedaulatan Tuhan, mengabdi untuk kepentingan-Nya, dan menjalankan kehendak-Nya. Namun, seperti halnya makna dan implikasi dari kedaulatan Tuhan yang telah menjadi tema perdebatan serius, kekuasaan seorang penguasa dan peran hukum dalam membatasi kekuasaan tersebut juga telah menjadi perdebatan yang tidak kalah seru pada masa pra-modern Islam. Beberapa alur argumentasi dalam perdebatan tersebut senada dengan gagasan-gagasan demokrasi modern.

Penguasa dan rakyat

Telah menjadi pendapat yang mapan, setidaknya dalam lingkungan Islam Sunni, bahwa nabi meninggal tanpa menunjuk penggantinya untuk memimpin masyarakat Muslim yang baru lahir. Nabi sengaja membiarkan masyarakat Muslim memilih sendiri pemimpin mereka. Sebuah pernyataan yang dinisbatkan kepada Khalifah Abu Bakr menyebutkan, “Tuhan telah membiarkan manusia mengatur sendiri urusannya sehingga mereka bisa memilih seorang pemimpin yang akan melayani kepentingan mereka.”
Kata khalifa, gelar bagi seorang penguasa Muslim, secara harfiah berarti penerus atau wakil. Pada masa paling awal, orang-orang Islam memperdebatkan apakah layak jika seorang pemimpin Muslim diberi gelar dengan khalifat Allah (wakil Tuhan), tapi kebanyakan ulama lebih suka menyebutnya dengan khalifat Rasul Allah (penerus nabi). Namun, seorang khalifah–apakah disebut penerus nabi atau wakil Tuhan–tidak memiliki otoritas seperti nabi yang kekuasaannya untuk membuat hukum, memperoleh wahyu, memberikan ampunan dan hukuman tidak dapat dialihkan kepada siapapun. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana otoritas kenabian bisa dimiliki oleh seorang khalifah? Dan kepada siapa ia bertanggung jawab?
Jika kewajiban utama seorang khalifah adalah melaksanakan hukum Tuhan, maka secara argumentatif bisa dikatakan bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Selama tindakan seorang khalifah berlandaskan penafsiran yang logis terhadap perintah Tuhan, maka penafsiran semacam itu harus diterima dan ia dipandang telah melaksanakan tugasnya terhadap rakyat. Hanya Tuhan yang dapat menilai niat seorang khalifah, dan–menurut argumentasi kebanyakan kelompok Sunni–seorang penguasa tidak bisa dicabut kekuasaannya kecuali jika ia melakukan pelanggaran serius dan terang-terangan terhadap Tuhan (yaitu, dosa besar).
Namun, para ahli hukum Muslim tidak sepenuhnya mempertegas hubungan antara penguasa dan rakyat. Dalam teori hukum Sunni, kekhalifahan harus didasarkan pada sebuah perjanjian (‘aqd) antara seorang khalifah dengan ahl al-hall wa al-‘aqd (orang yang memiliki kekuatan dalam menetapkan perjanjian) yang memberikan bay‘a (sumpah setia dan restu kepada seorang khalifah): seorang khalifah berhak memperoleh bay‘a itu sebagai imbalan atas janjinya untuk melaksanakan diktum perjanjian itu. Diktum perjanjian tersebut tidak didiskusikan secara panjang lebar dalam sumber-sumber Islam. Biasanya, para ahli hukum akan memasukkan diktum berupa kewajiban untuk menerapkan hukum Tuhan dan melindungi umat Islam dan wilayah Islam; sebagai imbalannya seorang penguasa dijanjikan akan memperoleh dukungan dan ketaatan rakyat. Diasumsikan bahwa hukum Syariat menentukan diktum perjanjian.
Siapakah pihak yang memiliki kekuasaan untuk memilih dan menurunkan seorang penguasa? Seorang ulama Mu‘tazilah, Abu Bakr al-Asam (w. 200/816) berargumen bahwa masyarakat secara umum merupakan pemegang kekuasaan tersebut: harus ada sebuah konsensus umum mengenai siapa yang akan ditunjuk menjadi penguasa, dan setiap orang harus memberikan persetujuannya secara perorangan. Mayoritas ahli hukum Islam berargumen dengan cara yang lebih pragmatis bahwa ahl al-hall wa al-‘aqd adalah mereka yang memiliki syawka (kekuasaan atau kekuatan) yang diperlukan untuk menjamin ketaatan atau persetujuan rakyat.
Gagasan tentang konsensus rakyat, meskipun bernuansa demokratis, tidak mesti disejajarkan dengan konsep tentang kekuasaan atau pemerintahan yang didelegasikan oleh rakyat. Konsensus dalam diskursus Muslim pra-modern tampaknya mirip dengan bentuk kesepakatan aklamasi. Yang melatarbelakangi diskusi ini adalah terdapatnya sejumlah ketidakpercayaan terhadap masyarakat jelata/masyarakat awam (al-‘amma): “Mereka [rakyat jelata] cenderung mudah terbawa arus, dan mereka mungkin akan lebih puas dengan memilih [penguasa] yang berkelakuan buruk dari pada memilih yang saleh …” Pendapat semacam itu dianut luas oleh para ahli hukum Muslim, dan dengan mempertimbangkan konteks historis ketika mereka hidup–jauh sebelum muncul sistem demokrasi dan kemampuan baca tulis publik yang tinggi–pernyataan semacam itu tidak mengejutkan kita. Akibatnya, berbagai konsep yang digunakan dalam diskursus-diskursus politik menyiratkan gagasan tentang pemerintahan representatif, tapi tidak pernah sepenuhnya menyokong pemerintahan semacam itu. Paradigma dominan yang berkembang saat itu adalah bahwa baik penguasa ataupun rakyatnya adalah wakil Tuhan (khulafa’ Allah) untuk melaksanakan hukum-hukum-Nya.

Kaidah hukum

Seperti yang dicatat sebelumnya, karakteristik utama sebuah pemerintahan Islam yang sah adalah bahwa ia tunduk pada dan dibatasi oleh hukum Syariat. Meskipun konsep ini memang memberikan dukungan bagi tegaknya kaidah hukum, kita harus membedakan antara supremasi hukum dengan supremasi seperangkat aturan hukum. Kedua istilah itu agak berbeda, dan keduanya sama-sama dibahas dalam tradisi hukum Islam. Beberapa pemikiran politik terdiri dari berbagai kemungkinan interpretasi. Dan lagi-lagi, beberapa dari kemungkinan interpretasi itu memiliki keterkaitan yang lebih besar dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Ketika menegaskan supremasi Syariat, para sarjana Muslim biasanya berargumen bahwa perintah positif Syariat, seperti hukuman terhadap pelaku perzinaan atau peminum minuman keras, harus dipedomani oleh pemerintah. Tapi pemerintah yang menyatakan keinginannya untuk mengikuti semua ketentuan positif dalam Syariat mungkin akan memanipulasi ketentuan tersebut untuk mencapai tujuan yang mereka kehendaki. Dengan mengatasnamakan pemeliharaan ketertiban umum, pemerintah dapat mengeluarkan hukum yang sewenang-wenang untuk melarang berbagai bentuk pertemuan umum; dengan mengatasnamakan perlindungan terhadap ortodoksi, pemerintah dapat mengeluarkan hukum yang sewenang-wenang untuk mengekang kreatifitas; dengan mengatasnamakan perlindungan terhadap individu dari fitnah, pemerintah dapat menekan berbagai kritik bernuansa politis dan sosial; dan pemerintah dapat memenjarakan atau menghukum mati lawan-lawan politiknya atas dasar klaim bahwa mereka telah menebar fitnah (perselisihan dan pergolakan sosial). Secara argumentatif bisa dikatakan bahwa semua jenis tindakan pemerintah seperti tersebut di atas merupakan bentuk ketundukan terhadap Syariat kecuali jika ada petunjuk yang jelas tentang batasan terhadap kewenangan pemerintah untuk melaksanakan dan menyokong hukum Syariat sekalipun.
Namun, penegakan kaidah hukum tidak mesti berarti bahwa pemerintah terikat dengan kitab hukum yang memuat aturan-aturan khusus. Ia justru dapat ditafsirkan sebagai perintah agar pemerintah mengikatkan diri dengan proses pembuatan dan penafsiran hukum, dan bahkan tuntutan yang lebih penting lagi adalah bahwa proses itu sendiri harus terikat dengan komitmen moral–terutama terhadap martabat dan kebebasan manusia.
Kita menemukan bukti tentang konsep alternatif seputar kaidah hukum dalam literatur hukum pra-modern. Para ahli hukum telah mendiskusikan batasan kekuasaan negara dalam membuat hukum, yang di antara dibicarakan dalam kerangka konsep kepentingan publik (al-masalih al-mursalah) dan penutupan pintu keburukan (sadd al-dzari‘ah). Kedua konsep yurisprudensi itu memungkinkan negara memperluas kekuasaannya dalam membuat hukum untuk menyuruh pada kebaikan dan mencegah keburukan. Misalnya, berdasarkan prinsip menutup pintu keburukan, pembuat hukum dapat mengklaim bahwa perilaku yang sah secara hukum harus dipandang tidak sah jika ia dapat menyebabkan terbukanya pintu bagi terjadinya tindakan yang melanggar hukum. Pada dasarnya, kedua konsep tersebut di atas menjadikan hukum semakin luwes dan adaptif. Tentu saja, kedua konsep itu dapat digunakan untuk memperluas hukum, bukan saja untuk melayani kepentingan umum, tapi juga untuk mempersempit otonomi individu. Secara khusus, konsep tentang menutup pintu keburukan, yang didasarkan pada gagasan tentang tindakan pencegahan dan kehati-hatian (al-ihtiyat), dapat dieksplorasi lebih lanjut untuk memperluas kekuasaan negara dengan mengatasnamakan perlindungan terhadap Syariat. Jenis dinamika semacam ini dapat dihindari di antaranya dengan menerapkan jaminan prosedural, tapi yang lebih penting lagi adalah dengan memahami bahwa aturan hukum merupakan sebuah jaminan terhadap martabat dan kebebasan manusia, yang bisa digunakan untuk memberikan pembenaran terhadap Syariat, bukan untuk mengabaikannya.
Dimensi penting yang terkait dengan tantangan terhadap pembentukan kaidah hukum adalah hubungan yang kompleks antara Syariat, yang dijabarkan oleh para ahli hukum, dengan praktik administratif negara atau politik hukum (al-ahkam al-siyasiyyah). Jika pada dua abad pertama Islam kita mungkin melihat banyak ahli hukum yang menjadikan praktik-praktik negara sebagai contoh normatif, dengan berlalunya waktu fenomena semacam itu semakin jarang terlihat. Pada abad ke-4/10 para ahli hukum Muslim telah mengklaim diri mereka sebagai satu-satunya otoritas yang sah untuk menguraikan hukum Tuhan. Praktik negara tetap dipandang sah, tapi hanya para ahli hukum Muslim itulah yang boleh menetapkan hukum. Negara hanya berfungsi melaksanakan hukum-hukum Tuhan, bukan menentukan materinya.
Sebagai pelaksana hukum Tuhan, negara diberi mandat yang luas untuk mengeluarkan kebijakan tentang persoalan yang menyangkut kepentingan publik (yang dikenal dengan al-siyasah al-syar‘iyyah). Aturan-aturan yang dibuat negara bisa dipandang sah dan harus ditegakkan selama aturan-aturan tersebut tidak bertolak belakang dengan hukum Tuhan, seperti yang dipaparkan oleh para ahli hukum, atau tidak menyalahgunakan kebijakan (al-ta‘assuf fi masa’il al-khiyar). Untuk itulah karya-karya yurisprudensi telah merekam secara mendetil ketetapan-ketetapan para ahli hukum, tapi tidak banyak merekam aturan-aturan negara, yang didokumentasikan oleh para pejabat negara dalam tulisan-tulisan tentang praktik administrasi negara. Dalam adagium hukum para ahli hukum Muslim, Syariat dipandang sebagai pilar hukum, dan politik adalah penjaganya. (Para ahli hukum Islam juga sering menegaskan bahwa agama adalah pilar sebuah bangunan dan otoritas politik adalah penjaganya.) Namun, paradigma ini menyisakan persoalan penting tentang batasan kekuasaan pemerintah, yaitu sejauh mana pemerintah dapat memperluas jangkauan hukum-hukumnya dalam kerangka perlindungan terhadap terlaksananya tujuan Syariat?
Perhatian terhadap cakupan kekuasaan pemerintah dalam kerangka Syariat memiliki landasan dalam sejarah Islam sehingga, berdasarkan standar dunia modern, persoalan tersebut tidak sepenuhnya baru. Namun, persoalan semacam itu hampir-hampir tidak ditemukan dalam tulisan para Islamis kontemporer. Hingga belakangan ini, para islamis di Iran, Arab Saudi, atau Pakistan melimpahkan kekuasaan legislatif kepada negara, bukan kepada hukum Tuhan. Misalnya, klaim tentang penutupan pintu keburukan kini diterapkan di Arab Saudi untuk memberikan pembenaran terhadap serangkaian hukum yang membatasi gerak perempuan, termasuk larangan mengendarai mobil bagi perempuan. Kasus tersebut merupakan bentuk kreasi yang relatif baru dalam praktik negara Islam, dan dalam berbagai kasus hal semacam itu berpuncak pada penggunaan Syariat untuk melecehkan Syariat.
Secara tradisional, para ahli hukum Islam bersikukuh bahwa para penguasa harus berkonsultasi dengan para ahli hukum tentang semua hal yang terkait dengan persoalan hukum, tapi para ahli hukum itu sendiri tidak pernah menuntut hak untuk menguasai jalannya pemerintahan Islam secara langsung. Pada kenyataannya, hingga masa-masa belakangan ini, para ahli hukum Sunni maupun Syi‘ah tidak pernah memegang kekuasaan politik secara langsung. Sepanjang sejarah Islam, para ahli hukum (‘ulama) telah menjalankan fungsi ekonomi, politik dan administrasi, tapi yang paling penting adalah peran mereka sebagai penengah antara kelas penguasa dan rakyat jelata. Seperti yang dikemukakan oleh Afaf Marsot: “[‘Ulama] adalah pelayan Islam, penjaga tradisi, pemegang ilmu leluhur, dan penganjur moral bagi masyarakat luas.” Selain memberikan legitimasi terhadap para penguasa, para ahli hukum juga menggunakan pengaruh mereka untuk menjegal kebijakan-kebijakan yang tidak adil dan seringkali memimpin atau memberikan legitimasi terhadap pemberontakan melawan kelas penguasa. Namun, modernitas telah merubah para ulama dari statusnya sebagai “juru bicara publik yang lantang” menjadi pejabat negara yang digaji yang hanya berperan sebagai pemberi legitimasi bagi rezim penguasa di dunia Islam. Tumbangnya peran ulama dan pemihakan mereka terhadap negara sekuler modern, dengan berbagai praktik sekulernya, telah membuka pintu bagi negara untuk menjadi pembuat dan pelaksana hukum Tuhan; dengan begitu, negara memiliki kekuasaan yang amat besar dan pada gilirannya semakin menyuburkan praktik-praktik otoriter di berbagai negara Islam.

Pemerintahan konsultatif

Alquran menyuruh Nabi untuk berkonsultasi secara berkala dengan orang-orang Islam tentang semua persoalan penting, dan menegaskan bahwa sebuah masyarakat yang menjalankan urusannya melalui proses musyawarah merupakan masyarakat terpuji di mata Tuhan (Q.S. 3:159; 42:38). Banyak laporan-laporan sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi berkonsultasi secara berkala dengan para sahabatnya menyangkut persoalan-persoalan negara. Di samping itu, tidak lama setelah Nabi wafat, konsep syura (musyawarah) menjadi sebuah simbol yang menandai pentingnya politik dan legitimasi partisipatif. Kegagalan untuk menegakkan atau mengamalkan syura menjadi tema umum yang dikumandangkan dalam kisah-kisah penindasan dan pemberontakan. Misalnya, diriwayatkan bahwa sepupu Nabi, ‘Ali, mengritik Umar ibn al-Khattab, khalifah kedua, dan Abu Bakar, khalifah pertama, karena keduanya tidak menghormati lembaga syura dalam kasus pencalonan Abu Bakar sebagai khalifah yang tidak menyertakan keluarga Nabi. Dan para penentang ‘Utsman ibn ‘Affan (memerintah dari tahun 23-35/644-656), khalifah ketiga, menuduhnya telah menghancurkan lembaga syura dengan berbagai kebijakannya yang disinyalir bernuansa nepotisme dan otoriter.
Meskipun pengertian syura dalam kisah-kisah sejarah itu tidak begitu jelas, konsep tentang syura jelas tidak merujuk semata pada tindakan penguasa untuk meminta pendapat dari tokoh-tokoh masyarakat; lebih luas lagi, ia menandai pentingnya perlawanan terhadap bentuk kelaliman, pemerintahan yang otoriter, atau penindasan. Hal ini selaras dengan penentangan hukum terhadap kelaliman (al-istibdad) dan pemerintahan yang didasarkan pada hawa nafsu dan kesewenang-wenangan (al-hukm bi’l hawa wa al-tasallut). Bahkan meskipun para ahli hukum Muslim melarang pemberontakan terhadap penguasa tiran, mereka tetap mentolerir pemerintahan tirani sebagai keburukan yang diperlukan, bukan sebagai kebaikan yang diinginkan.
Setelah abad ke-3/9, konsep tentang syura mengambil bentuk kelembagaan yang konkrit dalam diskursus para ahli hukum Muslim. Syura menjadi sebuah forum formal untuk meminta pendapat para ahl al-syura (orang-orang yang diminta mengemukakan pendapat), yang menurut literatur hukum merupakan kelompok yang juga membentuk ahl al-‘aqd (orang-orang yang memilih penguasa). Para ahli hukum Sunni memperdebatkan apakah hasil dari proses konsultasi itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (syrura mulzima) atau tidak (ghayra mulzima). Jika syura dipandang mengikat, maka seorang penguasa harus mengikuti penetapan para ahl al-syura. Namun, kebanyakan ahli hukum menyimpulkan bahwa penetapan para ahl al-syura semata merupakan nasihat dan tidak mengikat. Tapi, banyak ahli hukum yang menegaskan bahwa setelah melakukan konsultasi, seorang penguasa harus mengikuti pendapat yang paling selaras dengan Alquran, sunnah, dan konsensus para ahli hukum. Al-Ghazali merujuk pada konsensus umum ketika ia mengatakan bahwa: “Pengambilan keputusan yang lalim dan tidak-konsultatif, meskipun dilakukan oleh orang yang bijak dan terpelajar, patut ditolak dan tidak bisa diterima.”
Para reformis modern menggunakan gagasan tentang pemerintahan konsultatif sebagai bahan argumentasi untuk memperlihatkan kesesuaian yang mendasar antara Islam dan demokrasi. Namun sekalipun jika etika syura dikembangkan menjadi sebuah konsep yang lebih luas tentang pemerintahan partisipatif, persoalan tentang dominasi mayoritas memperlihatkan bahwa komitmen moral yang melandasi proses pembuatan hukum sama pentingnya dengan proses itu sendiri. Jadi, sekalipun jika syura diubah menjadi sebuah lembaga representasi partisipatif, ia sendiri harus dibatasi oleh sebuah skema hak pribadi dan individual yang berperan sebagai tujuan moral tertinggi, seperti keadilan. Dengan kata lain, syura harus dinilai bukan atas dasar apa yang dihasilkan, tapi atas dasar nilai moral yang diwakilinya. Oleh karena itu, apapun nilai dari berbagai pandangan yang berlawanan, perbedaan pendapat tetap ditolerir karena hal tersebut dipandang sebagai bagian penting dari penegakan keadilan.
Tradisi Islam dalam pemikiran politik hukum menggambarkan gagasan tentang representasi, konsultasi dan proses hukum. Tapi kandungan utama dari gagasan-gagasan tersebut masih diperdebatkan dan tidak menggambarkan hubungan langsung antara Islam dan demokrasi. Untuk memahami kemungkinan tentang Islam yang demokratis, kita harus melihat lebih dalam lagi tentang peran manusia di tengah-tengah ciptaan Tuhan lainnya, dan posisi penting keadilan dalam kehidupan manusia seperti yang ditegaskan dalam Alquran.

Keadilan dan Kasih Sayang

Keadilan memainkan peranan yang penting dalam diskursus Alquran: ia merupakan kewajiban yang harus kita tunaikan kepada Tuhan, dan juga terhadap sesama manusia. Di samping itu, perintah menegakkan keadilan terkait dengan kewajiban untuk menyeru pada kebaikan dan melarang kejahatan, dan juga terkait dengan keharusan bersaksi atas nama Tuhan. Meskipun Alquran tidak menentukan unsur-unsur pembentuk keadilan, ia menekankan kemampuan manusia untuk mencapai keadilan sebagai sebuah bentuk tuntutan yang sangat unik–sebuah kewajiban yang dibebankan kepada kita semua dalam kapasitas kita sebagai khalifah Tuhan. Pada hakikatnya, Alquran menuntut sebuah komitmen terhadap tuntutan moral yang bersifat samar tapi dapat dipahami melalui intuisi, akal dan pengalaman manusia.
Perdebatan Islam tentang bagaimana pemerintah menegakkan keadilan sangat mirip dengan diskursus Barat abad ke-17 tentang karakteristik alami, atau sifat dasar manusia. Sebuah pendapat–yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun dan Ghazali–menegaskan bahwa manusia secara alamiah bersifat mudah marah, cenderung berselisih, dan tidak suka bekerja sama. Jadi, pemerintahan dibutuhkan untuk memaksa manusia bekerja sama, meskipun hal itu bertentangan dengan sifat alami mereka, dan untuk menjunjung keadilan dan kepentingan umum.
Mazhab pemikiran lainnya, misalnya al-Mawardi dan Ibn Abi al-‘Arabi, berargumen bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi yang lemah dan membutuhkan bantuan, sehingga mereka akan membangun sebuah kerja sama ketika terdesak; kerja sama itu akan membatasi ketidakadilan dengan cara membatasi kekuasaan yang kuat, dan melindungi hak yang lemah. Pendapat yang lain mengatakah bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain, sehingga mereka akan saling membutuhkan untuk mencapai tujuannya. Menurut pandangan mazhab ini, manusia pada dasarnya menghendaki keadilan dan cenderung bekerja sama untuk mencapainya. Sekalipun jika manusia mengeksploitasi anugerah Tuhan berupa kecerdasan dan tuntunan Tuhan berupa hukum-hukum-Nya, melalui kerja sama mereka bisa mencapai tingkat keadilan dan kepuasan moral yang lebih tinggi. Kemudian seorang penguasa diangkat ke tampuk kekuasaannya melalui sebuah kontrak dengan rakyatnya, yang atas dasar kontrak tersebut ia setuju untuk meningkatkan kerja sama yang telah terjalin dalam masyarakatnya dengan tujuan membangun sebuah masyarakat yang adil.
Ketika merenungkan tuntutan untuk menegakkan keadilan, kita perlu memperhatikan argumentasi hukum tentang keragaman dan kerja sama manusia. Alquran mengatakan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia berbeda-beda dan menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka dapat saling mengenal satu sama lain. Para ahli hukum Muslim berargumen bahwa ungkapan “saling mengenal satu sama lain” menunjukkan perlunya kerja sama sosial dan tolong menolong untuk mencapai keadilan (Q.S. 49:13). Alquran juga mencatat bahwa manusia selalu memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya hingga akhir zaman. Ia juga menjelaskan bahwa realitas keberagaman manusia merupakan bagian dari kebijaksanaan Tuhan dan maksud penciptaan: “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia mejadikan umat manusia yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat …” (Q.S. 11:118).
Penghargaan dan pengakuan Alquran tentang keberagaman manusia memadukan keberagaman tersebut ke dalam proses pencapaian keadilan yang dicita-citakan dan menciptakan berbagai kemungkinan komitmen yang beragam dalam Islam modern. Komitmen tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah etika yang menghargai perbedaan dan hak manusia untuk berbeda, termasuk hak untuk memeluk agama atau keyakinan non-agama yang berbeda. Pada tataran politis, hal tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah keyakinan normatif yang memandang keadilan dan keberagaman sebagai nilai keadilan yang paling asasi yang harus dilindungi oleh tatanan konsitusi yang demokratis. Lebih jauh lagi, ia dapat dikembangkan menjadi sebuah gagasan tentang kekuasaan mandataris, di mana seorang penguasa diberi amanat untuk menjaga nilai keadilan yang paling asasi dengan menjamin hak untuk berkumpul, bekerja sama dan berbeda pendapat. Lebih jauh lagi, gagasan tentang pembatasan dapat dikembangkan untuk menghalangi pemerintah agar tidak merusak upaya pencarian keadilan atau tidak mengekang hak rakyat untuk bekerja sama, atau berbeda pendapat, dalam rangka mencari keadilan itu. Penting untuk saya catat, jika pemerintah gagal melaksanakan kewajiban yang tertuang dalam kontrak, maka ia kehilangan legitimasi kekuasaannya.
Namun, sayangnya terdapat beberapa faktor yang membatasi terlaksananya kemungkinan-kemungkinan tersebut dalam Islam modern. Pada tataran teologis dan filosofis, unsur-unsur keadilan tidak diteliti secara cermat dalam doktrin Islam. Penjelasan tentang pembatasan itu terletak pada perbedaan mendasar dalam memahami karakteristik keadilan itu sendiri. Apakah hukum Tuhan membatasi keadilan, atau apakah keadilan membatasi hukum Tuhan? Jika kita mengambil pendapat pertama, maka apapun yang kita pahami sebagai hukum Tuhan, di sanalah terdapat keadilan. Tapi jika kita mengambil pendapat kedua, maka apapun yang dituntut oleh keadilan pada kenyataannya ia juga merupakan tuntutan Tuhan.
Jika kita dapat mengetahui apa yang dituntut oleh keadilan dengan cara menentukan hukum Tuhan, maka kita tidak perlu melakukan berbagai upaya untuk mengetahui tuntutan keadilan–apakah keadilan yang dimaksud bermakna kesetaraan kesempatan atau hasil, atau membangun otonomi individu, atau memaksimalkan kemanfaatan kolektif, atau melindungi kehormatan dasar manusia. Jika hukum Tuhan lebih didahulukan dari pada keadilan, maka masyarakat yang adil bukan lagi merupakan persoalan tentang hak berbicara dan berkumpul, atau hak untuk menggali berbagai sarana menuju keadilan, tapi semata tentang penerapan hukum Tuhan.
Seandainya kita menerima pentingnya keadilan dalam diskursus Alquran, gagasan tentang kekhalifahan manusia, dan gagasan bahwa tugas untuk menegakkan keadilan telah dibebankan kepada manusia secara umum, maka kesimpulan yang masuk akal adalah bahwa nilai keadilan harus mengendalikan dan memandu semua upaya penafsiran dan pemahaman hukum Tuhan. Hal ini menuntut adanya sebuah perubahan paradigma dalam pemikiran Islam. Menurut saya, keadilan merupakan perintah Tuhan, dan mewakili kedaulatan Tuhan. Tuhan menggambarkan diri-Nya sebagai Yang Maha Adil, dan Alquran menegaskan bahwa Tuhan telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (Q.S. 6:12, 54). Lebih jauh lagi, maksud sebenarnya dari diturunkannya pesan Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah sebagai bentuk pemberian kasih sayang Tuhan kepada seluruh manusia.
Dalam diskursus Islam kasih sayang Tuhan bukan sekedar pengampunan, bukan juga kesediaan untuk mengabaikan kesalahan dan dosa manusia, tapi merupakan kondisi di mana seseorang mampu berbuat adil terhadap dirinya sendiri atau orang lain, dengan memberikan hak yang semestinya kepada setiap individu. Secara mendasar bisa dikatakan bahwa kasih sayang Tuhan terikat erat dengan sikap empati terhadap sesama–itulah sebabnya dalam Alquran, kasih sayang Tuhan disandingkan dengan perlunya manusia bersikap sabar dan toleran terhadap sesamanya. Yang paling penting lagi adalah bahwa dalam diskursus Alquran, keberagaman dan perbedaan di antara sesama manusia merupakan bentuk rahmat Tuhan kepada seluruh manusia (Q.S. 11:119). Persepsi yang memungkinkan seseorang memahami, menghargai, dan memperkaya dirinya dengan keberagaman manusia merupakan salah satu unsur penting untuk membentuk masyarakat yang adil dan untuk mencapai keadilan. Tuntutan Tuhan kepada manusia secara umum dan kepada umat Islam secara khusus adalah, seperti yang dinyatakan dalam Alquran, “untuk mengenal satu sama lain,” dan memanfaatkan pengetahuan itu untuk mewujudkan keadilan.
Jadi, dari sudut pandang tersebut, mandat Tuhan bagi pemerintahan Islam adalah untuk mewujudkan keadilan dengan berlandaskan kasih sayang. Meskipun hidup bersama dalam kedamaian merupakan syarat utama untuk tumbuhnya kasih sayang, untuk mewujudkan pengenalan terhadap sesama dan untuk mencapai keadilan, manusia perlu bekerja sama mewujudkan kebaikan dan keindahan, dengan cara mengembangkan diskursus moral yang terencana. Menerapkan aturan-aturan hukum semata, sekalipun jika aturan-aturan semacam itu merupakan hasil dari penafsiran terhadap kitab suci, belum dipandang cukup untuk mewujudkan kasih sayang–kemampuan alami untuk memahami sesama–atau, terutama, keadilan.
Jadi, prinsip kasih sayang dan keadilan merupakan tuntutan utama Tuhan, dan kedaulatan Tuhan terletak pada kenyataan bahwa Tuhan adalah pemegang otoritas yang mendelegasikan kepada manusia tugas untuk mewujudkan keadilan di muka bumi dengan menjalankan nilai-nilai yang mendekati sifat-sifat ketuhanan. Konsep tentang kedaulatan Tuhan ini tidak menggantikan peran manusia melalui tuntutan penegakan hukum Tuhan secara mekanis, tapi konsep tersebut justru menyalurkan peran manusia dan bahkan mengedepankan peran tersebut sejauh ia dapat memberikan sumbangsih terhadap terwujudnya keadilan. Penting untuk saya catat bahwa menurut diskursus hukum kita tidak mungkin mencapai keadilan kecuali jika setiap orang diberikan hak secara semestinya. Tantangan bagi manusia sebagai khalifah Tuhan adalah bagaimana ia mengakui bahwa ada sebuah hak, memahami siapa yang memiliki hak semacam itu, dan akhirnya memastikan bahwa pemiliknya telah menikmati haknya. Sebuah masyarakat yang gagal dalam melaksanakan tugas tersebut–tidak peduli berapa banyak aturan yang telah diterapkan–bukanlah masyarakat yang diliputi kasih sayang atau keadilan. Pembahasan ini membawa kita pada pembahasan seputar kemungkinan adanya hak individu dalam Islam.

Hak-Hak Individu

Semua demokrasi konstitusional memberikan perlindungan terhadap kepentingan individu, seperti kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, kedudukan yang sama di depan hukum, hak untuk memiliki harta benda, dan jaminan proses hukum di pengadilan. Tapi hak mana saja yang harus dilindungi, dan sejauh mana perlindungan diberikan, merupakan wilayah bahasan berbagai jenis teori dan praktik. Di sini saya berasumsi bahwa apapun karakteristik hak itu, kepentingan individu harus diperlakukan sebagai hal yang tidak bisa diganggu gugat. Ia merupakan kepentingan yang jika dilanggar akan melukai rasa harga diri korban dan menghancurkan kemampuannya untuk memahami eksistensinya. Jadi, penggunaan penyiksaan dan larangan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan, atau sarana pertahanan hidup lainnya, seperti pekerjaan, merupakan hal yang tidak bisa diterima.
Untuk memahami posisi kepentingan tersebut dalam Islam, perlu kita catat bahwa tujuan Syariat menurut teori hukum adalah mewujudkan kesejahteraan manusia (tahqiq masalih al-‘ibad). Secara khusus, para ahli hukum Islam membagi kesejahteraan manusia ke dalam tiga kategori: kesejahteraan primer (daruriyyat), kesejahteraan sekunder (hajiyyat) dan kesejahteraan tertier (kamaliyyat atau tahsiniyyat). Menurut para ahli hukum Muslim, hukum dan kebijakan pemerintah harus memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, mengikuti urutan prioritasnya–pertama keserjahteraan primer, lalu sekunder dan terakhir tertier. Kesejahteraan primer dibagi lebih jauh ke dalam lima kepentingan utama–al-daruriyyat al-khamsah: agama, kehidupan, akal, keturunan atau kehormatan, dan harta benda. Tapi para ahli hukum Muslim tidak mengembangkan kelima nilai dasar tersebut ke dalam kategori yang lebih luas, dan kemudian menggali implikasi teoritis dari masing-masing nilai tersebut. Mereka menganalisa aturan hukum yang dipandang dapat melayani nilai-nilai tersebut dan menyimpulkan bahwa dengan menghimpun aturan-aturan spesifik tersebut, kelima nilai tersebut bisa terwujud. Jadi, misalnya, para ahli hukum Muslim berargumen bahwa larangan pembunuhan dalam hukum Islam bertujuan melindungi nilai dasar kehidupan, hukuman terhadap orang yang murtad bertujuan melindungi kepentingan agama, larangan terhadap minuman beralkohol bertujuan melindungi akal, larangan terhadap praktik pelacuran dan perzinaan bertujuan melindungi keturunan, dan hak untuk mendapat ganti rugi bertujuan melindungi harta benda. Namun, membatasi perlindungan akal hanya dengan menetapkan larangan terhadap minuman beralkohol, atau perlindungan terhadap kehidupan hanya dengan menetapkan larangan membunuh, tidak cukup memadai. Sayangnya, tradisi hukum tampaknya telah mereduksi kelima nilai tersebut ke dalam tujuan-tujuan yang bersifat teknis. Padahal, kelima nilai tersebut bisa berperan sebagai landasan bagi sebuah teori yang sistematis tentang hak individu di dunia modern.
Yang pasti, tradisi hukum Islam mengungkapkan sejumlah besar pandangan yang mempelihatkan perlindungan terhadap individu. Misalnya, para ahli hukum Muslim telah mengembangkan gagasan tentang praduga tak bersalah dalam kasus kriminal dan perdata, dan berargumen bahwa penuduh dibebankan dengan pembuktian (al-bayyina ‘ala man idda‘a). Dalam hal-hal yang terkait dengan bid’ah, para ahli hukum Muslim selalu berargumen bahwa jauh lebih baik membebaskan ribuan pelaku bid’ah dari pada keliru menjatuhkan hukuman kepada seorang Muslim yang jujur. Dalam kasus-kasus kriminal, para ahli hukum berargumen bahwa jauh lebih baik membebaskan seseorang yang bersalah dari pada terjerumus pada risiko menghukum orang yang tidak bersalah. Lebih jauh lagi, banyak ahli hukum yang mengecam praktik penahanan dan pengurungan terhadap kelompok heterodok sekalipun ketika kelompok tersebut menyatakan secara terbuka sikap heterodok mereka (seperti kelompok Khawarij), dan berargumen bahwa kelompok-kelompok semacam itu tidak boleh dilecehkan atau diganggu kecuali jika mereka mulai mengangkat senjata dan menunjukkan niat yang nyata untuk memberontak pemerintah. Para ahli hukum Muslim juga mengecam penggunaan siksaan, dengan berargumen bahwa Nabi melarang penggunaan muthla (penggunaan alat siksa) dalam semua situasi, dan tidak memperkenankan penggunaan pengakuan hasil pemaksaan dalam semua persoalan hukum dan politik. Pada kenyataannya, sejumlah besar ahli hukum telah mengemukakan sebuah doktrin yang mirip dengan doktrin pembebasan dari tuduhan bersalah yang dipraktikkan dalam sistem hukum Amerika–pengakuan atau bukti yang diperoleh dari proses pemaksaan dinilai tidak sah dalam persidangan. Yang menarik adalah bahwa beberapa ahli hukum bahkan menegaskan bahwa para hakim yang bersandar pada sebuah pengakuan semacam itu dalam memutuskan kasus kriminal dipandang telah bertanggung jawab atas penetapan keputusan yang keliru. Kebanyakan ahli hukum berargumen bahwa tergugat atau keluarganya boleh mengajukan gugatan balik untuk memperoleh ganti rugi kepada hakim tersebut secara khusus, dan kepada khalifah dan wakilnya secara umum, karena pemerintah dipandang bertanggung jawab karena berdiam diri atas tindakan hakim-hakimnya yang bertentangan dengan hukum.
Namun, diskursus yang paling menarik tentang persoalan tersebut dalam tradisi hukum Islam adalah seputar hak Tuhan dan hak manusia. Hak Tuhan (huquq Allah) adalah hak yang sepenuhnya dimiliki Tuhan dalam arti bahwa hanya Tuhan yang dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, dan hanya Tuhan yang memiliki hak untuk memberi maaf atas pelanggaran semacam itu. Namun, hak-hak yang secara eksplisit tidak dimiliki Tuhan kemudian diserahkan kepada manusia. Sementara pelanggaran terhadap hak-hak Tuhan hanya bisa diampuni oleh Tuhan melalui tobat yang benar, pelanggaran terhadap hak-hak manusia hanya bisa dimaafkan oleh individu yang bersangkutan. Jadi, hak mendapat ganti rugi dimiliki secara pribadi oleh semua manusia dan pelanggaran terhadapnya hanya dapat dimaafkan oleh individu yang bersangkutan. Baik pemerintah maupun Tuhan sekalipun tidak memiliki hak untuk memberi ampunan atau membayarkan ganti rugi, jika ia telah menjadi bagian dari hak manusia.
Para ahli hukum Muslim tidak melukiskan seperangkat hak yang tidak bisa diganggu gugat dan berlaku umum yang dimiliki oleh setiap orang dalam setiap kesempatan. Tapi, mereka memandang hak-hak individu sebagai hak yang berasal dari sebab hukum (legal cause) akibat pelanggaran hukum. Seseorang tidak memiliki hak hingga ia dizalimi, dan oleh karena itu ia berhak mengklaim ganti rugi atau pembalasan. Untuk merubah paradigma tersebut diperlukan sebuah transformasi konsep tradisional tentang hak, sehingga hak menjadi harta milik individu, tanpa mempertimbangkan apakah terdapat sebab hukum dari tindakan tersebut. Seperangkat hak yang diakui bersifat abadi adalah hak-hak yang dipandang penting untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan menjunjung tinggi kasih sayang. Menurut saya, ia pasti merupakan hak yang menjamin keselamatan fisik dan kehormatan manusia. Bisa saja hak-hak individu yang relevan adalah kelima nilai yang disebutkan di atas, tapi persoalan tersebut harus dianalisa ulang dari sudut pandang keberagaman manusia. Dalam konteks ini, komitmen terhadap hak-hak manusia tidak menunjukkan penafian komitmen kepada Tuhan, tapi justru merupakan bentuk penghormatan terhadap keberagaman manusia, penghargaan terhadap khalifah Tuhan, perwujudan kasih sayang, dan upaya pencapaian tujuan tertinggi keadilan.
Penting untuk saya catat bahwa ternyata bukan tradisi hukum Islam pra-modern yang menyodorkan hambatan terbesar bagi pengembangan hak-hak individu dalam Islam. Hambatan serius justru berasal dari orang-orang Islam modern sendiri. Terutama pada paruh kedua abad ini, sejumlah besar orang Islam membentuk asumsi yang tidak berdasar bahwa hukum Islam mengarahkan perhatian utamanya pada kewajiban, bukan pada hak, dan bahwa konsep Islam tentang hak bersifat kolektif, bukan individual. Meskipun demikian, kedua asumsi tersebut hanya didasarkan pada asumsi kultural tentang “pihak lain” yang bukan Barat. Hal itu seolah-olah menegaskan bahwa para penafsir itu telah membakukan konsep Judeo-Kristen atau mungkin konsep Barat tentang hak, dan mengasumsikan bahwa Islam harus memiliki konsep yang berbeda.
Pada kenyataannya, klaim-klaim tentang hak individu atau kolektif pada dasarnya bersifat anakronis. Para ahli hukum Muslim pra-modern tidak menegaskan sebuah visi tentang hak yang bersifat kolektif atau individual. Mereka memang berbicara tentang al-haqq al-‘amm (hak publik), dan sering menegaskan bahwa hak publik harus didahulukan dari pada hak pribadi. Tapi hal tersebut berujung pada sebuah penegasan bahwa kelompok terbesar tidak boleh dirampas hak-haknya oleh kelompok yang lebih kecil. Misalnya, sebagai sebuah adagium hukum hal tersebut telah digunakan untuk memberikan pembenaran terhadap gagasan tentang public takings (penghasilan publik?) atau hak membangun sarana publik di atas tanah milik pribadi. Prinsip tersebut juga digunakan untuk melarang praktik para dokter yang tidak memenuhi standar kualifikasi. Tapi seperti yang telah dibahas di atas, para ahli hukum Muslim tidak membenarkan, misalnya, pembunuhan atau penyiksaan manusia untuk mewujudkan kesejahteraan negara atau kepentingan publik.
Barangkali, penegasan tentang pentingnya perspektif kolektifitas dan orientasi kewajiban dalam Islam muncul dari karakteristik reaktif dalam kebanyakan diskursus hukum Islam kontemporer. Namun, gagasan tentang hak individu sebenarnya lebih mudah mendapat pembenaran dalam Islam dari pada hak kolektif. Tuhan menciptakan manusia sebagai individu-individu, dan pertanggungjawaban mereka di akhirat kelak juga dilakukan secara individual. Seseorang yang memiliki komitmen untuk mempertahankan dan melindungi kemaslahatan individu berarti telah menghargai ciptaan Tuhan. Masing-masing individu mencerminkan gambaran semesta keagungan Tuhan. Mengapa seorang Muslim harus memegang komitmen untuk melindungi hak dan kemaslahatan sesama manusia? Jawabannya adalah bahwa Tuhan telah menetapkan komitmen semacam itu ketika Dia meniupkan ruh-Nya ke dalam setiap diri manusia. Itulah sebabnya mengapa Alquran menegaskan bahwa siapapun yang membunuh sesamanya secara tidak benar dipandang telah membunuh semua manusia; seolah-olah pelaku pembunuhan telah membunuh kesucian ilahi dan menghancurkan makna ketuhanan yang terdalam (Q.S. 5:32).
Lebih jauh lagi, Alquran tidak membedakan antara kesucian seorang Muslim dengan non-Muslim. Seperti yang dinyatakan secara berulang-ulang dalam Alquran, tidak seorangpun manusia yang dapat membatasi kepengasihan Tuhan dengan cara apapun, atau memilih-milih siapa yang berhak menerimanya (Q.S. 2:105; 3:74; 35:2; 38:9; 39:38; 40:7; 43:32). Dengan kenyataan itu, saya ingin menegaskan bahwa baik Muslim maupun non-Muslim bisa menjadi penerima atau pemberi kasih sayang ilahi. Yang menjadi ukuran nilai moral dalam kehidupan dunia saat ini adalah kedekatan seseorang kepada Tuhan melalui keadilan, bukan label keagamaannya. Yang menjadi ukuran di akhirat kelak adalah hal lain, dan hal tersebut merupakan hak prerogatif Tuhan. Tuhan akan merealisasikan hak-Nya di akhirat kelak dengan cara yang menurut-Nya paling sesuai. Tapi, kewajiban moral yang paling penting bagi kita di muka bumi ini adalah merealisasikan hak sesama. Komitmen untuk menghargai hak-hak manusia paralel dengan komitmen untuk melindungi ciptaan Tuhan, dan pada akhirnya juga merupakan komitmen terhadap Tuhan sendiri.


Syariat dan Negara Demokratis

Sebuah bentuk demokrasi yang muncul dari dalam wilayah agama Islam harus menerima gagasan tentang kedaulatan Tuhan: ia tidak dapat meletakkan kedaulatan rakyat di atas kedaulatan Tuhan, tapi justru harus memperlihatkan bagaimana kedaulatan rakyat–beserta gagasan bahwa warga negara memiliki hak dan tanggung jawab yang sebanding untuk mewujudkan keadilan dengan kasih sayang–mengekspresikan otoritas Tuhan. Sama halnya, ia tidak dapat menolak gagasan bahwa hukum Tuhan harus didahulukan dari pada hukum manusia, tapi justru harus memperlihatkan bagaimana pembentukan hukum yang demokratis menghormati prioritas tersebut. Saya sengaja menempatkan bahasan tentang Syariat dan Negara di akhir tulisan karena saya perlu terlebih dahulu meletakkan landasan pembahasan tersebut. Sebagai bagian dari landasan tersebut, kita perlu menghargai posisi penting Syariat bagi kehidupan seorang Muslim. Syariat adalah Jalan Tuhan; ia direpresentasikan dengan seperangkat prinsip-prinsip normatif, metodologi untuk menghasilkan aturan hukum, dan seperangkat aturan hukum positif. Seperti yang telah dimaklumi bersama, Syariat mengatasi beragam mazhab pemikiran dan pendekatan, yang semuanya sama-sama sah dan ortodoks. Meskipun demikian, Syariat secara keseluruhan, beserta semua mazhab dan berbagai pendapat yang berbeda, tetap merupakan Jalan dan Hukum Tuhan.
Bagian terbesar Syariat tidak ditetapkan secara eksplisit oleh Tuhan. Syariat justru mengandalkan upaya interpretasi agen manusia untuk menghasilkan dan melaksanakan hukum-hukumnya. Namun, sesungguhnya Syariat merupakan nilai inti yang harus dilestarikan oleh masyarakat. Paradoks ini ditampilkan dalam bentuk ketegangan antara kewajiban untuk hidup berlandaskan hukum Tuhan dengan kenyataan bahwa hukum tersebut terbentuk semata melalui penetapan interpretasi subyektif manusia. Bahkan sekiranya ada sebuah pemahaman tunggal bahwa sebuah perintah positif tertentu benar-benar mencerminkan hukum Tuhan, masih ada banyak sekali kemungkinan pelaksanaan dan penerapan yang bersifat subyektif. Dilema ini sedikit terpecahkan dalam diskursus Islam dengan cara membuat perbedaan antara fikih dan Syariat. Dikatakan bahwa Syariat merupakan Gagasan Ideal Tuhan, berada di atas langit, dan tidak terpengaruh atau tercemar oleh ketidakpastian. Fikih merupakan upaya manusia untuk memahami dan menerapkan gagasan ideal Syariat. Oleh karena itu, Syariat bersifat kekal, suci dan tanpa cacat–sementara fikih tidak demikian.
Sebagai bagian dari landasan doktrinal dalam diskursus ini, pembahasan para ahli hukum Sunni berfokus pada sebuah hadis yang dinisbatkan kepada Nabi, yang berbunyi: “Setiap mujtahid (ahli hukum yang berusaha keras menemukan jawaban yang benar) dipandang benar” atau “Setiap mujtahid akan mendapat pahala.” Hal ini mengisyaratkan bahwa jawaban yang benar untuk sebuah pertanyaan yang sama bisa lebih dari satu. Menurut para ahli hukum Sunni, hal itu memunculkan persoalan tentang tujuan dan motif di balik pencarian Kehendak Tuhan. Apa sebenarnya Tujuan Tuhan memberikan berbagai petunjuk ke arah hukum-Nya dan kemudian menuntut manusia untuk melakukan pencarian? Jika Tuhan menghendaki manusia untuk mencapai satu jawaban yang benar, maka bagaimana mungkin setiap penafsir atau ahli hukum dipandang benar? Dengan ungkapan lain, adakah satu jawaban yang benar untuk setiap persoalan hukum, dan apakah orang-orang Islam dibebani kewajiban hukum untuk menemukan jawaban tersebut?
Mayoritas ahli hukum Sunni sepakat bahwa ketekunan yang dilandasi kejujuran dalam mencari kehendak Tuhan cukup memadai untuk melindungi diri dari tuntutan di hadapan Tuhan kelak. Di luar semua itu, para ahli hukum terbagi ke dalam dua kelompok utama. Kelompok utama, yang dikenal dengan mukhatti’ah, berargumen bahwa pada dasarnya dalam setiap persoalan hukum terdapat satu jawaban yang benar; namun hanya Tuhan yang tahu jawaban yang benar itu, dan kebenaran tersebut hanya akan terungkap pada hari akhirat kelak. Manusia sebagian besar tidak dapat mengetahui secara pasti apakah mereka telah menemukan jawaban yang benar itu. Dalam pengertian ini, setiap mujtahid dipandang benar karena telah mencoba mencari jawaban; namun, seseorang mujtahid mungkin dapat mencapai kebenaran sedangkan yang lainnya mungkin keliru. Di akhirat kelak, Tuhan akan memberitahu semua orang tentang siapa yang tepat dan siapa yang keliru. Ketepatan di sini berarti bahwa seorang mujtahid diberi penghargaan atas upayanya, tapi hal itu tidak berarti bahwa semua jawaban sama-sama benar.
Mazhab kedua, yang dikenal dengan sebutan musawwibah, berargumen bahwa tidak ada satupun jawaban yang benar-benar tepat (hukm mu‘ayyan) yang harus ditemukan oleh manusia: bagaimanapun, jika ada jawaban yang tepat, Tuhan akan memberikan hujjah yang menunjukkan kepastian dan kejelasan aturan Tuhan. Tuhan tidak akan memerintahkan manusia menemukan jawaban yang tepat sementara petunjuk obyektif untuk menemukan jawaban tersebut tidak tersedia. Jika memang ada kebenaran obyektif bagi semua hal, Tuhan akan menjadikan kebenaran itu bisa diketahui di dunia ini. Dalam berbagai kondisi, kebenaran hukum, atau ketepatan bergantung pada keyakinan dan pembuktian, dan validitas dari sebuah aturan atau tindakan hukum seringkali bergantung pada kaidah-kaidah persepsi (rules of recognition) yang menjadi syarat keberadaannya. Manusia tidak dibebani dengan kewajiban untuk menemukan hasil yang abstrak, sulit dipahami dan benar secara hukum. Pada kenyataannya manusia hanya dibebani dengan kewajiban untuk secara sungguh-sungguh menganalisa sebuah persoalan dan kemudian mengikuti hasil-hasil ijtihad mereka sendiri. Menurut al-Juwayni, misalnya, yang dikehendaki Tuhan dari manusia adalah mencari kebenaran–meniti kehidupan sambil mendekatkan diri sepenuhnya pada Tuhan. Al-Juwayni menjelaskan: seolah-olah Tuhan berkata kepada manusia, “Perintah-Ku pada hamba-hamba-Ku sebanding dengan besarnya keimanan mereka. Jadi, siapa saja yang yakin bahwa ia diwajibkan melakukan sesuatu, maka bertindak atas dasar keyakinannya itu merupakan perintah-Ku.” Perintah Tuhan kepada manusia adalah agar mereka bersungguh-sungguh melakukan pencarian, dan hukum Tuhan akan ditunda hingga manusia memperoleh kepastian yang kuat tentang hukum tersebut. Ketika keyakinan yang kuat terbentuk, hukum Tuhan mengikuti keyakinan kuat yang dibentuk oleh individu tersebut. Singkatnya, jika seseorang secara jujur dan tulus meyakini bahwa hukum Tuhan adalah begini dan begitu, maka baginya ia menjadi hukum Tuhan.
Pendapat mazhab kedua ini memunculkan persoalan rumit seputar penerapan Syariat dalam masyarakat. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa hukum Tuhan adalah upaya pencarian hukum Tuhan itu sendiri; jika tidak, maka beban hukum (taklif) sepenuhnya bergantung pada subyektifitas dan kejujuran dari keyakinan seseorang. Berdasarkan sudut pandang mazhab pertama, hukum apapun yang diterapkan oleh negara, hukum tersebut secara potensial merupakan hukum Tuhan, dan kita tidak akan mengetahui hukum Tuhan yang sebenarnya hingga akhir zaman. Dari sudut pandang mazhab kedua, hukum apapun yang diterapkan oleh negara bukanlah hukum Tuhan, kecuali jika orang yang harus menjalankan hukum tersebut meyakininya sebagai kehendak dan perintah Tuhan. Mazhab pertama menangguhkan pengetahuan tentang hukum Tuhan hingga kita memasuki alam akhirat, dan mazhab kedua menggantungkan pengetahuan itu pada validitas proses dan kejujuran sebuah keyakinan.
Dengan berpijak pada warisan pemikiran ini, saya memandang bahwa Syariat harus diletakkan dalam politik Islam sebagai konstruksi simbolis tentang kesempurnaan Tuhan yang berada di luar jangkauan manusia. Seperti yang dinyatakan oleh Ibn Qayyim, ia merupakan hakikat keadilan, kebaikan, dan keindahan ilahi. Kesempurnaannya terpelihara dalam Pikiran Tuhan, sementara segala sesuatu yang disalurkan melalui agen manusia pasti akan tercemar oleh ketidaksempurnaan manusia. Dengan ungkapan lain, Syariat yang diwahyukan Tuhan benar-benar sempurna, tapi ketika dipahami oleh manusia, ia menjadi tidak sempurna dan bersifat kondisional. Para ahli hukum harus terus menggali gagasan utama Syariat dan mengerahkan upaya mereka yang tidak sempurna itu untuk memahami kesempurnaan Tuhan. Selama argumentasi yang dibangun itu bersifat normatif, ia tidak akan mampu mencapai kehendak Tuhan, sehingga hukum apapun yang akan diterapkan pasti berpotensi mengalami kegagalan. Syariat bukan hanya sekedar kumpulan hukum (seperangkat aturan positif), tapi juga mencakup senarai prinsip, metodologi, dan proses diskursus yang diarahkan untuk mencapai kehendak Tuhan. Dengan demikian, Syariat merupakan sebuah karya yang berkesinambungan dan tidak pernah rampung.
Penjelasan konkritnya adalah sebagai berikut: jika sebuah pendapat diadopsi dan dilaksanakan oleh sebuah negara, pendapat tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hukum Tuhan. Setelah melalui proses penetapan dan penegakan oleh negara, pendapat hukum itu tidak lagi semata mengandung potensi–ia menjadi hukum yang sebenarnya, yang diterapkan dan dilaksanakan. Tapi, hukum yang telah diterapkan dan dilaksanakan bukanlah hukum Tuhan–ia menjadi hukum negara. Dengan demikian, hukum agama sebuah negara merupakan istilah yang kontradiktif, karena hukum itu seharusnya hanya milik negara atau milik Tuhan semata, dan selama penjelasan dan pelaksanaan hukum itu bersandar pada agen subyektif negara, maka hukum tersebut pasti bukanlah hukum Tuhan. Kalau tidak begitu, maka kita harus mau mengakui bahwa kegagalan hukum negara pada kenyataannya merupakan kegagalan hukum Tuhan, dan akhirnya juga berarti kegagalan Tuhan sendiri. Dalam konsep teologi Islam, kemungkinan tersebut tidak dapat diterima.
Tentu saja, tantangan terbesar bagi pendapat tersebut adalah argumentasi bahwa Tuhan dan Nabi-Nya telah menetapkan perintah hukum yang jelas yang tidak dapat diabaikan. Secara argumentatif bisa dikatakan bahwa Tuhan telah menetapkan hukum-Nya secara jelas dan tepat karena Dia ingin membatasi peran agen manusia dan menutup kemungkinan melakukan inovasi. Tapi–kembali lagi pada pendapat yang telah saya tekankan sebelumnya–bagaimanapun jelas dan akuratnya pernyataan dalam Alquran dan sunah, yang diambil dari kedua sumber itu harus dinegosiasikan melalui agen manusia. Misalnya, Alquran menyebutkan, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. 5:38). Meskipun kandungan hukum dari ayat tersebut tampak jelas, ia setidaknya menuntut manusia untuk menafsirkan makna “pencuri,” “memotong,” “tangan,” dan “balasan.” Alquran menggunakan ungkapan iqta‘u, dari akar kata qata‘a, yang bisa bermakna “memutuskan” atau “memotong,” tapi ia juga bisa berarti “bersikap tegas,” “mengakhiri,” “mencegah,” atau “menjauhkan seseorang.” Apapun makna yang kita ambil dari teks tersebut, pertanyaannya kemudian adalah dapatkah seorang penafsir mengklaim dengan penuh kepastian bahwa penetapan yang ia capai identik dengan penetapan yang dikehendaki Tuhan? Dan sekalipun ketika persoalan makna itu berhasil dipecahkan, dapatkah hukum tersebut dilaksanakan dengan jalan sedemikian rupa sehingga kita dapat mengklaim bahwa hasilnya sesuai dengan kehendak Tuhan? Pengetahuan dan keadilan Tuhan bersifat sempurna, dan manusia tidak mungkin menentukan atau melaksanakan hukum dengan cara sedemikian rupa sehingga sepenuhnya terhindar dari kemungkinan melakukan kesalahan. Hal ini tidak berarti bahwa pencarian hukum Tuhan berujung pada kesia-siaan; ia hanya berarti bahwa penafsiran para ahli hukum merupakan pemenuhan kehendak Tuhan, tapi hukum-hukum yang dikodifikasi dan diterapkan oleh negara tidak dapat dipandang sebagai pemenuhan kehendak Tuhan yang sebenarnya.
Dalam sejarah Islam, secara kelembagaan ulama, yaitu para ahli hukum, dapat dan benar-benar bertindak sebagai penafsir Firman Tuhan, penjaga moral masyarakat, dan pengawas yang mengingatkan dan mengarahkan bangsa pada tujuan tertinggi, yaitu Tuhan. Tapi hukum negara, apapun asal-usul dan landasannya, merupakan milik negara semata. Berdasarkan konsep ini, tidak ada hukum agama yang dapat atau boleh ditegakkan oleh negara. Semua hukum yang dijelaskan dan diterapkan dalam sebuah negara sepenuhnya merupakan hukum manusia, dan harus diperlakukan sebagai hukum manusia. Hukum-hukum tersebut merupakan bagian dari hukum Syariat hanya sejauh pengertian bahwa pendapat hukum manusia bisa dikatakan sebagai bagian dari Syariat. Sebuah undang-undang, sekalipun bersumber dari Syariat, bukanlah Syariat. Dalam ungkapan yang berbeda, manusia (creation), dengan seluruh kekayaan tekstual dan non-tekstual, dapat dan harus menghasilkan hak yang mendasar dan hukum yang terorganisir (arganizational law) yang mampu menghargai dan menjunjung tinggi hak tersebut. Tapi hak dan hukum itu tidak mencerminkan kesempurnaan ciptaan Tuhan. Berdasarkan paradigma tersebut, demokrasi merupakan sebuah sistem yang memadai dari perspektif Islam karena selain mengungkapkan sisi penting manusia–yaitu statusnya sebagai khalifah Tuhan–pada saat yang sama juga mencegah negara bertindak sebagai juru bicara Tuhan dengan meletakkan otoritas tertinggi di tangan rakyat, bukan di tangan ulama. Di samping itu pendidik moral memiliki peran yang serius, karena mereka harus siap membimbing masyarakat untuk mendekati Tuhan. Tapi kehendak kelompok mayoritas sekalipun–sebaik apapun moralitas mereka–tidak dapat mewakili kehendak Tuhan. Dan dalam kasus yang paling buruk–jika kelompok mayoritas lepas dari bimbingan para ulama, jika kelompok mayoritas bersikeras untuk menyimpang dari jalan Tuhan, tapi masih menghormati hak-hak dasar individu, termasuk hak untuk mempertimbangkan penciptaan dengan hati-hati dan menyeru pada jalan Tuhan–individu-individu yang membentuk kelompok mayoritas itu tetap harus bertanggung jawab kepada Tuhan di akhirat kelak.[]