Sabtu, 02 Mei 2009

Ikut Mayoritas atau Minoritas ???

Ikut Mayoritas atau Minoritas ?

Pada saat ini, banyak kebenaran, kesederhanaan, ketulusan dan keikhlasan kaum Muslimin dilabeli sebagai “minoritas” atau tepatnya “minoritas ekstrim”. Sebagian orang telah benar-benar menjatuhkan dirinya pada suatu tingkatan dengan memasukkan haraam ke dalam halal berdasarkan apa yang mayoritas orang-orang katakan. Apakah ini tertolak dalam Islam? Haruskah kita mengikuti apa yang mayoritas orang-orang percayai dan ikuti, atau kita harus tetap berdiri di atas haq (kebenaran), meskipun tidak banyak yang mengikutinya?

Sejak kita menjadi seorang Muslim (orang-orang yang patuh), menjadi penting (dan faktanya adalah sebuah kewajiban) bagi kita untuk merujuk kembali kepada Al-Qur’aan dan As-Sunnah dan lihatlah apa yang tuhan kita telah katakan tentang masalah ini. Allah (swt) berfirman dalam kitabnya:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُون
َ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS Al An’am 6 : 116)

Ayat ini sangat jelas dan tegas bagi kita untuk memperhatikannya. Allah (swt) menginformasikan kepada kita bahwa mayoritas dari orang-orang tidak bisa diikuti tetapi itu hanyalah dugaan dan mereka tidak lain hanyalah pembohong. Ayat ini membasmi segala gagasan atau konsep yang melibatkan kebolehan, kepuasan, kesenangan orang-orang mayoritas di muka bumi. Selanjutnya, orang-orang yang mengatakan bahwa kami (orang-orang Islam) tidak menghadirkan mayoritas dari orang-orang dan bahwa kami adalah minoritas, kita harus berani untuk mengatakan kepada mereka, tentu saja! mayoritas adalah sesat dan mayoritas akan masuk ke dalam neraka.

Kebenaran tidak bersama mayoritas dan ini adalah sesuatu yang sangat penting untuk diketahui orang-orang yang berada dalam petunjuk Allah (swt). Kita mengetahui kebenaran dari nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah -teks wahyu) dan tidak oleh perkataan mayoritas. Faktanya, syaitan telah berjanji kepada Allah (swt) bahwa dia akan menyesatkan mayoitas dari hamba-hambaNya dan hanya minoritas dari orang-orang beriman yang ikhlas akan bisa dan mampu melawan bisikkan syaitan yang telah dia berikan.

Allah (swt) berfirman dalam Al Qur’an:
“Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” (QS Shaad 38 : 82-83)

Selanjutnya apa yang oleh mayoritas katakan, lakukan atau percayai seharusnya tidak akan menjadi standar bagi seorang Muslim untuk menghakimi apa yang benar dan apa yang salah, yang jahat dan yang baik. Kita hanya mendasrkan diri kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang sesuai dengan pemahaman dari Shahabah – inilah apa yang disebut kita mengikuti dengan merujuk dari bagaimana orang-orang yang telah memegangnya. Telah di riwayatkan secara shahih bahwa Abdullah bin Mas’ud (ra) berkata:

كن مع الجماعة ولو كنت وحدك

“Tetaplah bersama Jama’ah (kebenaran) meskipun jika kamu seorang
diri.”

Faktanya pada saat dimana Ahmad bin Hambal (rh), dia adalah satu-satunya orang yang mempunyai keberanian berdiri dengan kebenaran dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah perkataan Allah (kalamullah) dan bukan makhlukNya (swt), disamping itu fakta bahwa mayoritas orang-orang berkata sebaliknya dan tidak mempunyai keberanian untuk menyatakan secara terbuka seperti apa yang dia lakukan.

Lebih lanjut, Rasulullah (saw) bersabda:

...وستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة، قالو: ومن يا رسول اللّه؟ قال: من كان على ما أنا عليه وأصحابي


“…dan umat ini akan terpecah ke dalam 73 golongan, semua dari mereka akan masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan (golongan yang selamat). “Mereka (para sahabat) bertanya, ‘siapa mereka (golongan yang selamat) Yaa Rasulullah?’ belaiu menjawab, “mereka adalah orang yang mengikuti beliau dan para Shahabat.” (Sunan At Tirmidzi)

Selanjutnya Rasullullah (saw) menginformasikan kepada kita bahwa ummat ini akan terpecah ke dalam banyak golongan. Mayoritas dari mereka akan masuk ke dalam neraka, dan hanya minoritas yang akan selamat – dan mereka adalah orang-orang yang dengan teguh mengikuti tiada lain hanya Rasulullah (saw) dan para shahabat; bukan mengikuti dan meneladani kebiasaan dari orang-orang atau perkataan dari mayoritas. Lebih lanjut, hadits lain dalam shahih Bukhari juga membuktikan fakta ini bahwa mayoritas orang-orang akan masuk ke dalam neraka.

Rasulullah (saw) bersabda:

عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: يقول الله تعالى: يا آدم، فيقول: لبيك وسعديك، والخير في يديك، فيقول: أخرج بعث النار، قال: وما بعث النار؟ قال: من كل ألف تسعمائة وتسعة وتسعين

“Allah akan berkata (pada hari kebangkitan), ‘wahai Adam.’ Adam (as) menjawab, ‘inilah aku, dengan penuh ketaatan dan semua kebaikan ada pada tanganMu.’ Allah akan berkata, ‘bawalah orang-orang berada di neraka.’ Adam berkata, ‘yaa Allah! Berapa banyak orang-orang yang berada di neraka?’ Allah akan menjawab, ‘setiap dari seribu, ambillah ambilah sembilan ratus sembilan puluh sembilan.’”
(Shahih Bukhari, Kitab kisah para Nabi)

Selanjutnya, sebagaimana kita telah sebutkan sebelumnya, opini ini telah sangat jelas kepada mereka orang-orang yang telah diberi petunjuk kepada tuhannya. Dan orang-orang yang berkata bahwa kami tidak bersama dengan mayoritas; kami yakin bahwa mereka berada dalam kebenaran yang mutlak! Kebanyakan orang-orang tidak diberi petunjuk dan mayoritas akan masuk neraka – kami tidak akan pernah berada dengan orang-orang yang akan masuk ke dalam neraka.



Bukanlah metode Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (golongan yang selamat) untuk menghakimi apa yang benar dan apa yang salah. Apakah minoritas ataupun mayoritas setuju dengan kita, kita tidak peduli – jadi sepanjang kita mengikuti teks-teks wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunah berdasarkan pemahaman Shahabat). Mereka adalah orang-orang yang mencari ke-ridho-an dan kepuasan Allah SWT. bukan orang-orang yang mencari keridhoan manusia, karena kalau mencari keridhoan manusia pasti akan terbakar di api neraka yang Allah (swt) telah sediakan, dan Allah (swt) akan membuat mereka menjadi dibenci oleh semua orang.

Rasulullah (saw) bersabda:

من التمس رضا الله عنه بسخط الناس رضي الله عنه، وأرضى عنه الناس، ومن التمس رضا الناس بسخط الله، سخط الله عليه وأسخط عليه الناس
“siapa saja yang mencari ke-ridho-an Allah dengan mengabaikan kebanyakan orang, akan mendapatkan ke-ridho-an Allah, dan Allah akan membuat orang-orang ridho kepadanya. Dan siapa saja yang mencari ke-ridho-an kebanyakan orang dengan mengabaikan kemurkaan Allah, tidak akan mendapatkan ke-ridho-an Allah, dan Allah akan memnyebabkan orang-orang tidak ridho dengannya.”
(Musnad Imam Ahmad)

Rasulullah (saw) dan para Shahabatnya adalah orang-orang yang minoritas di Mekkah, namun mereka tidak pernah kompromi dengan pekerjaan sulitnya dan terus berusaha, mereka telah sukses menghancurkan sistem kufur dari Qurays dan Allah (swt) memberikan kepada mereka kekuasaan di muka bumi. Allah (swt) berfirman:

كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ…

…"Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar (orang-orang yang tetap teguh dan tanpa kompromi)."
(QS Al Baqarah 2 : 249)


Allahu Akbar……!!!

inilah demokrasi; maukah anda meninggalkannya ?

Inilah Demokrasi;Maukah Anda Meninggalkannya?
oleh Abu Bashir Mushthofa Halimah
بسم الله الرحمن الرحيم
Kepada mereka yang masih beranggapan bahwa perbedaan pendapat tentang demokrasi adalah perbedaan pendapat dalam ranah wasa’il dan furu’iyyah (cabang agama), tidak menyentuh ranah ushul (pokok agama) dan i’tiqad (keyakinan)….
Kepada para da’i tambal sulam, koleksi dan penggabungan (manhaj dan ideologi)….
Kepada mereka yang masih tidak mengetahui hakekat demokrasi….
Kepada mereka yang mencampuradukkan –secara dusta– demokrasi dengan syura dan Islam….
Kepada mereka yang memandang bahwa demokrasi adalah solusi terbaik untuk menjawab problematika Islam dan kaum muslimin…
Kepada mereka yang mempropagandakan dan menyerukan demokrasi, kemudian setelah itu mengaku dirinya seorang muslim…
Kepada mereka semua kami katakan, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka tidak boleh ada kepemimpinan yang lebih tinggi dari kedudukan rakyat, dan tidak ada kehendak yang boleh mengatasinya lagi, meskipun itu kehendak Allah. Bahkan dalam pandangan demokrasi dan kaum demokrat, kehendak Allah dianggap sepi dan tidak ada nilainya sama sekali.
Demokrasi adalah suatu sistem yang menjadikan sumber perundang-undangan, penghalalan dan pengharaman sesuatu adalah rakyat, bukan Allah. Hal itu dilakukan dengan cara mengadakan pemilihan umum yang berfungsi untuk memilih wakil-wakil mereka di parleman (lembaga legislatif).
Hal ini berarti bahwa yang dipertuhan, yang disembah dan yang ditaati –dalam hal perundang-undangan– adalah manusia, bukan Allah. Ini adalah tindakan yang menyimpang, bahkan membatalkan prinsip Islam dan tauhid. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa sikap demikian merusakkan tauhid adalah,
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. (Yusuf:40)
dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan (al-Kahfi:26)
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (asy-Syura:21)
Dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.(al-An’am:121)
Oleh karena kalian telah menyembah mereka, dari aspek ketaatan kalian kepada mereka dalam hal menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah, maka kalian telah berbuat syirik dengan menyembah mereka. Karena syirik itu, sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah, adalah mengarahan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah.
Demikian juga firman Allah
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah (at-Taubah:31)
Mereka dianggap menjadi arbab (tuhan-tuhan) selain dari Allah, karena mereka telah mengaku berhak membuat tasyri’, menghalakan dan mengharamkan sesuatu, dan menetapkan undang-undang.
Demokrasi berarti mengembalikan segala bentuk pertengkaran dan perselisihan, antara hakim dan yang dihukumi kepada rakyat, tidak kepada Allah dan rasul-Nya. Ini adalah penyelewengan dari firman Allah,
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (asy-Syura:10)
Bagi para penganut faham demokrasi akhir ayat ini diganti dengan kalimat, maka putusannya (hukumnya) terserah kepada rakyat, dan bukan diserahkan kepada selain rakyat. Firman Allah,
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (an-Nisa’:59)
Allah menetapkan, bahwa di antara konsekuensi iman adalah mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni dengan mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah
Demokrasi adalah, sebuah sistem yang berprinsip pada kebebasan berkeyakinan dan beragama. Seseorang –dalam pandangan demokrasi– boleh berkeyakinan apa saja yang ia maui, bebas memilih agama apa saja yang ia inginkan. Ia bebas menentukan apa yang ia inginkan, dan seandainya ia menginginkan untuk keluar dari Islam berganti agama lain, atau menjadi seorang atheis, maka tiada masalah dan ia tidak boleh dipermasalahkan.
Adapun hukum Islam berlawanan dengan hal itu. Hukum Islam tunduk kepada ketentuan yang telah disabdakan Rasulullah saw.
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia
Menurut hadis tersebut, orang yang keluar dari Islam harus dibunuh, bukan dibiarkan saja. Demikian juga di dalam sabda Rasulullah saw
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ..
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan laa ilaha illallah, mendirikan shalat, menunaikan zakat… (HR Bukhari dan Muslim)
بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ ، حَتَّى يُعْبَدُ اللهُ تَعَالَى وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ..
Aku diutus di akhir masa, dengan membawa pedang sehingga Allah semata disembah dan tidak disekutukan.
Dan telah maklum bahwa Islam memberikan tiga alternatif untuk ahli kitab, yaitu: masuk Islam, membayar jizyah dengan sikap tunduk, atau perang. Adapun kepada para penyembah berhala, seperti kaum musyrik Arab dan lain-lainnya, maka bagi mereka ada dua lternatif yang bisa dipilih, yaitu masuk islam atau diperangi.
Demikian juga ketika Isa as turun –sebagaimana diinformasikan di dalam as-sunnah– maka ia akan mematahkan salib, membunuh babi, menjatuhkan jizyah, dan tidak menerima ajaran para orang-orang yang menyimpang –termasuk ahlul kitab– selain Islam, atau berperang.
Berdasarkan hakekat nas-nas di atas, dan juga nash syara’ lainnya yang mempunyai hubungan dengan masalah ini, kita bisa mendudukkan firman Allah
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); (al-Baqarah:256)
Demokrasi adalah sistem yang berprinsip pada kebebasan berpendapat dan bertindak, apapun bentuk pendapat dan tindakannya, meskipun mencaci maki Allah dan Rasul-Nya serta merusak agama, karena demokrasi tidak mengenal sesuatu yang suci sehingga haram mengkritiknya atau membahasnya panjang lebar. Dan apapun bentuk pengingkaran terhadap kebebasan berarti pengingkaran terhadap sistem demokrasi. Dan itu berarti menghancurkan kebebasan yang suci, dalam pandangan demokrasi dan kaum demokrat.
Inilah hakekat kekufuran terhadap Allah, karena di dalam Islam tidak ada kebebasan untuk mengungkapkan kata-kata kufur dan syirik, tidak ada kebebasan untuk hal yang merusak dan tidak membawa maslahat, tidak ada kebebasan untuk hal yang menghancurkan dan tidak membangun, serta tidak ada kebebasan untuk memecah belah tidak membangun persatuan. Firman Allah
Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (an-Nisa’;148)
Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman. (at-Taubah:65-66)
Ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan sekelompok kaum munafik, ditengah perjalanan menuju medan perang Tabuk, mengatakan tentang para shahabat Rasul, “Kami tidak penah melihat orang yang lebih rakus, lebih dusta kata-katanya dan lebih pengecut ketika pertempuran seperti para qurra’ ini”. Dengan kata-kata itu mereka ditetapkan sebagai orang kafir, setelah sebelumnya dianggap sebagai orang mukmin.
Dan di dalam hadis shahih dinyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْساً يَهْوِي بِهَا سَبْعِيْنَ خَرِيْفاً فِي النَّارِ ” .
Sesungguhnya seorang lelaki berkata-kata dengan kata-kata yang dianggapnya tidak apa-apa, tetapi kata-katanya itu menyebabkannya berada di neraka selama 70 tahun
Dari Sufyan bin Abdullah ra, ia berkata.
قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ مَا أَخْوَفُ مَا تَخَافُ عَلَيَّ ؟ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ، ثُمَّ قَالَ هَذَا
Aku bertanya, Wahai Rasulullah, “Hal apakah yang paling engkau takutkan dari diriku?” Beliau memegang mulut beliau sendiri seraya berkata, “Ini” (at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
مَنْ وَقَاهُ اللهُ شَرَّ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَشَرَّ مَا بَيْنَ فَخِذَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa yang dijaga oleh Allah apa yang ada di antara kedua bibirnya dan di antara kedua kakinya, maka ia akan masuk ke dalam sorga
وهل يكب الناس في النار على وجوههم إلا حصائد ألسنتهم”
Adakah orang yang telungkup di neraka pada wajahnya kecuali orang yang menjaga lisannya
Lalu di manakah demokrasi meletakkan adab-adab mulia yang diajarkan oleh Islam yang hanif ini?
Demokrasi adalah sistem sekular dengan segala cabangnya, di mana ia dibangun di atas pemisahan agama dari kehidupan dan kenegaraan. Allah dalam pandangan demokrasi hanya diposisikan di pojok surau dan masjid saja, adapun wilayah-wilayah selain itu, baik dalam wilayah politik, ekonomi, sosial dan lain-lain maka wilayah itu bukan milik agama, wilayah itu semua adalah milik rakyat. Bahkan rakyat berhak menentukan suatu kebijaksanaan untuk dimasukkan ke dalam masjid, meskipun hal itu sebenarnya mengandung kemadlaratan
Lalu mereka Berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan Ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, Maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka, amat buruklah ketetapan mereka itu. (al-An’am:136)
Mereka mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (an-Nisa’:150-151)
Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. (an-Nisa’:151)
Itulah hukum untuk semua bentuk demokrasi sekularisme yang memisahkan antara agama dengan negara dan politik, serta semua urusan hidup manusia, meskipun lisannya menyatakan bahwa dirinya adalah muslim dan mukmin.
Demokrasi adalah sistem yang berpijak pada prinsip kebebasan individual, maka seseorang –menurut ajaran demokrasi– berhak melakukan apa saja yang diinginkannya, termasuk melakukan tindakan yang mungkar, keji maupun yang merusak, tanpa boleh diawasi.
Bila kaum Ibahiyah (permisivisme) sepanjang sejarah dianggap sebagai kelompok-kelompok kafir zindik, lalu apa hukum demokrasi jika bukan itu juga..??
Demokrasi adalah sistem yang menjadikan pilihan rakyat sebagai orang yang berhak memimpin suatu bangsa, meskipun yang dipilih itu adalah orang kafir, zindik ataupun murtad dari agama Allah.
Hal ini bertentangan dengan firman Allah
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (an-Nisa’:141)
Hal itu juga bertentangan dengan ijma’ umat Islam, bahwa orang kafir tidak boleh memimpin kaum muslimin, dan negara kaum muslimin.
Demokrasi adalah sistem yang berdiri di atas landasan persamaan semua manusia dalam hak dan kewajiban, dengan menutup mata dari aqidah dan agama yang diikutinya, dan juga menutup mata dari biografi moralnya, sehingga orang yang paling kufur, paling jahat dan paling bodoh disamakan dengan orang yang paling taqwa, paling shalih dan paling pandai dalam menetapkan persoalan yang sangat penting dan urgen, yaitu menyangkut siapa yang berhak memerintah negeri dan masyarakat….
Hal ini bertentangan dengan firman Allah
Maka apakah patut kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau Adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan? (al-Qalam:35-36)
Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama. (as-Sajdah;18)
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (az-Zumar:9)
Dalam pandangan agama Allah mereka tidak sama, tetapi dalam pandangan agama demokrasi mereka sama saja.
Demokrasi didirikan di atas prinsip kebebasan membentuk berserikat dan organisasi, baik berupa organisasi politik (partai) maupun organisasi non politik. Dalam demokrasi bebas berserikat tanpa mempedulikan fikrah dan manhaj yang menjadi dasar (asas) organisasi itu. Dengan begitu, setiap kumpulan dan setiap organisasi bebas sebebas-bebasnya untuk menyebarkan kekufuran, kebatilan dan pemikiran yang merusak di seluruh penjuru negeri.
Hal ini dalam pandangan syara’ adalah penerimaan dengan suka rela akan keabsahan dan kebebasan melakukan tindakan kekufuran, kesyirikan, kemurtadan dan kerusakan. Sikap ini bertentangan dengan kewajiban untuk memerangi kekufuran dan kemungkaran, sebagai bentuk dari nahi munkar sebagaimana firman Allah
Di dalam hadis, yang shahih dari Rasulullah saw, beliau bersabda
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran maka hendaklah mengubah dengan tangannya, jika tidak bisa hendaklah ia mengubah dengan lisannya, jika tidak bisa hendaklah mengubah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman (HR Muslim)
Hadis tersebut menyebutkan bahwa mengingkari dan mengubah kemungkaran adalah kewajiban, meskipun hanya dengan hati ketika tidak mampu lagi melakukan pengingkaran terhadap kemunkaran dengan tangan dan lisan. Adapun berinteraksi dengan kemunkaran sehingga muncul keridloan terhadap kemungkaran tersebut, maka ini merupakan bentuk kekufuran yang nyata. Inilah yang ditunjukkan oleh hadis berikut ini
فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ اْلإِيْمَانِ حَبَّةَ خَرْدَلٍ
“Maka siapa yang berjihad (bersungguh-sungguh untuk mengubah kemungkaran) mereka dengan tangannya maka ia mukmin, dan siapa yang berjihad dengan lisannya maka ia mukmin, dan yang berjihad dengan hatinya maka ia mukmin. Dan di balik itu semua tidak ada iman meskipun sebesar biji sawi”
Maksudnya, diluar pengingkaran dengan hati itu tidak lain adalah keridlaan. Ridla terhadap kekufuran menyebabkan hilangnya iman dari pemeluknya
Demikian juga sabda Rasulullah saw dalam hadis yang menceritakan tentang penumpang perahu yang melobangi dinding perahu karena enggan naik ke atas untuk mengambil air. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya itu dikatakan
فَإِنْ تَرَكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعاً ، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعاً
Jika penumpang kapal lainnya membiarkan tindakan mereka dan apa yang mereka kehendaki itu maka mereka semua akan tenggelam, tetapi jika mereka mengambil tindakan terhadap mereka (yang melobangi perahu) maka mereka akan selamat dan semuanya akan selamat
Inilah perumpamaan demokrasi, ia mengatakan dengan sejelas-jelasnya, “Tinggalkanlah partai-partai yang dengan kebebasannya akan menenggelamkan kapal. Sebab tenggelamnya kapal akan menenggelamkan seluruh penumpangnya, dan segala harta yang ada di dalamnya”.
Tetapi jika hanya meninggalkan partai-partai yang bathil tanpa mengingkari dan memerangi kebathilannya atau kita hanya mengingkari kemungkaran tanpa berusaha mencegah kemunkaran yang akan menyebabkan hancurnya masyarakat, yang didalamnya terdapat kaum muslimin, apakah salah kalau dikatakan bahwa kita telah mengakui keabsahannya dan kebebasannya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki dan diinginkan.
Sikap itu –pengakuan akan keabsahan suatu partai yang bathil– juga akan menyebabkan terpecah-belahnya ummat dan melemahkan kekuatannya, merusakkan kesetiaan mereka kepada kebenaran karena bergabung dengan partai syetan yang menyimpang dari kebenaran, dan meninggalkan ajaran yang diturunkan oleh Allah karena mengikuti seruan penguasa. Hal ini bertentangan dengan firman Allah;
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (Ali Imran:103)
Dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah saw
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةِ ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ ، مَنْ أَرَادَ بِحُبُوْحَةِ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزِمِ الْجَمَاعَةَ
Hendaklah kalian berada di dalam jama’ah dan jauhilah firqah. Sesungguhnya syetan bersama dengan orang yang sendirian dan terhadap orang yang berdua ia menjauh, barangsiapa yang menginginkan sorga yang terbaik maka hendaklah setia terhadap jama’ah (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Demokrasi ditegakkan di atas prinsip menetapkan sesuatu berdasarkan pada sikap dan pandangan mayoritas, apapun pola dan bentuk sikap mayoritas itu, apakah ia sesuai dengan al-haq atau tidak. Al-Haq menurut pandangan demokrasi dan kaum demokrat adalah segala sesuatu yang disepakati oleh mayoritas, meskipun mereka bersepakat terhadap sesuatu yang dalam pandangan Islam dianggap kebathilan dan kekufuran.
Di dalam Islam, al-haq yang mutlak itu harus dipegang sekuat tenaga, meskipun mayoritas manusia memusuhimu, yaitu al-haq yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah. Al-Haq adalah ajaran yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, meskipun tidak disetujui oleh mayoritas manusia, sedangkan a-bathil adalah ajaran yang dinyatakan batil oleh al-Qur’an dan sunnah, meskipun mayoritas manusia memandangnya sebagai kebaikan. Sebab keputusan tertinggi itu hanyalah hak Allah semata, bukan di tangan manusia, bukan pula di tangan suara mayoritas
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (al-An’am:116)
Dan di dalam hadis shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda;
إِنَّ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ مَنْ لَمْ يُصْدِقُهُ مِنْ أُمَّتِهِ إِلاَّ رَجُلٌ وَاحِدٌ
Sesungguhnya di antara para nabi ada yang tidak diimani oleh umatnya kecuali hanya seorang saja (HR Muslim)
Jika dilihat dengan kaca mata demokrasi yang berprinsip suara mayoritas, di manakah posisi nabi dan pengikutnya ini?
Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Amr bin Maimun, “Jumhur jama’ah adalah orang yang memisahkan diri dari al-Jama’ah, sedangkan al-Jama’ah adalah golongan yang sesuai dengan kebenaran (al-haq) meskipun hanya dirimu seorang”
Ibnu al-Qayyim di dalam kitab A’lamul Muwaqqi’in mengatakan, “ketahuilah bahwa ijma’, hujjah, sawad al-A’dham (suara mayoritas) adalah orang berilmu yang berada di atas al-haq, meskipun hanya seorang sementara semua penduduk bumi ini menyelisihinya.
Demokrasi dibangun di atas prinsip pemilihan dan pemberian suara, sehingga segala sesuatu meskipun sangat tinggi kemuliaannya, ataupun hanya sedikit mulia harus diletakkan di bawah mekanisme ambil suara dan pemilihan. Meskipun yang dipilih adalah sesuatu yang bersifat syar’i (bagian dari syari’ah).
Sikap ini tentu bertentangan dengan prinsip tunduk, patuh, dan menyerahkan diri sepenuh hati serta ridla sehingga menghilangkan sikap berpaling dari Allah, ataupun lancang kepada Allah dan Rasul-Nya. Sikap itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhannya. Agama seorang hamba tidak akan lurus, dan imannya tidak akan benar tanpa adanya sikap tunduk dan patuh kepada Allah sepeti itu
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (al-Hujurat:1-2)
Kalau hanya meninggikan suara di atas suara nabi saw saja bisa sampai menghapuskan pahala amal perbnuatan, padahal amal tidak akan terhapus kecuali dengan kekufuran dan kesyirikan. Lalu bagaimanakah dengan orang yang lebih mengutamakan dan meninggikan hukum buatannya di atas hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah. Tak diragukan lagi, tindakan ini jauh lebih kufur dan lebih besar kemurtadannya, serta lebih menghapuskan amalnya
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (al-Ahzab:36)
Tetapi demokrasi akan mengatakan, “Ya, harus diadakan pemilihan dulu, meskipun nantinya harus meninggalkan hukum Allah”
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (an-Nisa:65)
Demokrasi berdiri di atas teori bahwa pemilik harta secara hakiki adalah manusia, dan selanjutnya ia bisa mengusakan untuk mendapatkan harta dengan berbagai cara yang ia maui. Ia bebas pula membelanjakan hartanya untuk kepentingan apa saja yang ia maui, meskipun cara yang dipilihnya adalah cara yang diharamkan dan terlarang di dalam agama Islam. Inilah yang disebut dengan sistem kapitalisme liberal
Sikap ini berbeda secara diametral dengan ajaran Islam, dimana mengajarkan bahwa pemilik hakiki harta adalah Allah swt. Dan bahwasannya manusia diminta untuk menjadi khalifah saja terhadap harta kekayaan itu, maka ia bertanggung jawab terhadap harta itu di hadapan Allah; bagaimana ia mendapatkan dan untuk apa dibelanjakan…
Manusia dalam Islam tidak diperbolehkan mencari harta dengan cara haram dan yang tidak sesuai dengan syara’ seperti riba, suap, dan lain-lain…… Demikian juga ia tidak diizinkan untuk membelanjakan harta untuk hal-hal yang haram dan hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan syara’. Manusia dalam ajaran Islam tidak memiliki dirinya sendiri, sehingga ia bebas melakukan apa saja yang ia inginkan tanpa mempedulikan petunjuk Islam. Karena itulah melakukan hal-hal yang membahayakan diri dan juga bunuh diri termasuk dosa besar yang terbesar, oleh Allah akan diberikan balasan adzab yang pedih. Pandangan seperti ini bisa kita dapatkan dalam firman Allah
Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. (Ali Imran:26)
Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (at-Taubah:111)
Jiwa adalah milik Allah, maka Allah membeli apa yang Dia miliki sendiri –jual beli khusus untuk orang mukmin– untuk menggambarkan pemberian kemuliaan, kebaikan dan keutamaan kepada mereka, sekaligus untuk mendorong mereka supaya berjihad dan mencari kesyahidan
Nabi saw apabila hendak mengirim seseorang menuju medan jihad, beliau berpesan,
إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ ، وَلَهُ مَا أَعْطَى
Sesungguhnya kepunyaan Allah lah apa yang Dia mabil dan kepunyaan-Nya juga yang Dia berikan (HR Bukhari dan Abu Dawud)

Selanjutnya, seseorang tidak memiliki sesuatu yang ditunjukkan untuk bisa diambil karena sesungguhnya dia bukanlah pemiliknya, dia hanya mendapatkan titipan saja, sedang pemiliknya adalah Allah swt.
Secara ringkas, inilah demokrasi!!
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dengan penuh keyakinan, tanpa ada keraguan sedikit pun kami katakan, bahwa demokrasi dalam pandangan hukum Allah adalah termasuk kekufuran yang nyata, jelas dan tidak ada yang samar, apalagi gelap, kecuali bagi orang yang buta matanya dan buta mata hatinya. Adapun orang yang meyakininya, menyerukannya, menerima dan meridlainya, atau beranggapan –dasar dan prinsip yang mendasari bangunan demokrasi– sebagai kebaikan yang tidak terlarang oleh syara’, maka ia adalah orang yang telah kafir dan murtad dari agama Allah, meskipun namanya adalah nama Islam, dan mengaku dirinya termasuk muslim dan mukmin. Islam dan sikap seperti ini tidak akan pernah bersatu di dalam agama Allah selamanya.
Adapun orang yang mengatakan tentang demokrasi karena ketidakmengertiannya terhadap arti dan asasnya, maka kita akan menahan diri dari mengkafirkan dirinya, tetapi tetap akan mengatakan kekufuran kata-katanya itu, sehingga bisa ditegakkan hujjah syar’iyyah yang menjelaskan kekufuran demokrasi kepadanya, dan letak pertentangannya dengan din Islam. Sebab demokrasi termasuk ke dalam suatu terminologi dan faham yang dibuat dan problematik bagi kebanyakan orang. Dengan itulah bagi orang yang tidak mengerti bisa dimaafkan, sampai ditegakkan hujjah kepadanya, agar ketidakmengertiannya itu menjadi sirna.
Demikian juga kepada mereka yang, menyebut-nyabut istilah demokrasi tetapi dengan makna dan dasar yang berbeda dengan apa yang telah kami sebutkan di atas, seperti orang yang meminjam istilah tetapi yang dimaksudkan adalah permusyawarahan, atau yang dimaksudkan adalah kebebasan berpendapat dan bertindak dalam hal yang membangun, atau melepaskan ikatan pengekang yang menghalangi manusia dari membiasakan diri dengan hak-hak syar’i dan hak-hak asasi mereka, dan bentuk-bentuk penggunaan istilah demokrasi dengan maksud yang berbeda dengan hakekat demokrasi lain, maka ia tidak boleh dikafirkan. Inilah sikap adil seimbang, yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan pokok-pokok agama.
Adapun hukum Islam berkenaan dengan kegiatan di lembaga legislatif, maka kami katakan, “Sesungguhnya kegiatan legislasi (kegiatan di lembaga legislatif) –adalah kegiatan yang telah menyeleweng dari aqidah dan syari’ah yang tak mungkin untuk ditebus— hal itu termasuk kekufuran yang sangat jelas. Maka tidak boleh ada hukum atau pendapat yang lain, selain hukum kufur.
Adapun bagi anggota legislatif maka mereka adalah orang yang meniti jalan kedhaliman. Tentang mereka itu kami katakan, “Orang yang ikut menjadi aggota parlemen karena dilatarbelakangi oleh pemahaman yang rancu (syubhat), ta’wil, dan kesalahfahaman maka mereka tidak kita kafirkan –meskipun tetap kita katakan bahwa aktifitas yang mereka lakukan adalah aktifitas kufur. Kita akan tetap berpendapat demikian sampai ditegakkan hujjah syar’iyyah, sehingga hilanglah kesalahfahaman, ketidaktahuan dan kerancuan pemahaman mereka.
Adapun orang menjadi anggota legislatif apabila dilatarbelakangi oleh sikap yang menyimpang dari syari’ah atau bahkan tidak mempedulikan syari’ah, maka mereka itu adalah orang kafir, karena tidak ada mawani’ (penghalang) takfir pada dirinya,sementara syarat-syarat takfir telah ada di dalam dirinya. Allahu a’lam
Inilah demokrasi, inilah hukumnya, hukum orang yang menyerukannya dan yang mengikutinya, apakah kau bersedia untuk meninggalkannya, apakah kau mau meninggalkannya?
Allahumma inni qod ballaghtu, fasyhad
Ya Allah, Sesungguhnya aku telah menyampaikan, maka saksikanlah
11-2-1999
Abdul Mun’m Musthofa Halimah, Abu Bashir
Sumber : blog Abah Zacky as-Samarani




pungutan suara (voting) adalah syirik

Pemungutan Suara (Voting) Adalah Syirik
Takutlah Kepada Allah Dan Jangan Lakukan Pemungutan Suara

Kepada orang-orang yang menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya yang disembah, siapa saja yang menyatakan Islam sebagai jalan hidupnya dan menyatakan untuk mematuhi dan mentaati Allah SWT, ingatlah waktu pemungutan suara sudah dekat. Wahai kaum muslimin janganlah memilih! Jika kau memilih itu sama saja dengan memberikan ijin kepada parlemen untuk membuat undang-undang manusia dan memerintahkan untuk dilaksanakan. Voting adalah dosa paling jahat yang anda lakukan! Bertentangan dengan ajaran tauhid dan merupakan syirik serta termasuk ke dalam kufur akbar.

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa-dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa-dosa yang selain syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”(QS.An Nisaa’,4:116)

Wahai saudara-saudaraku, anda telah menyatakan diri sebagai muslim, oleh karena itu patuhlah pada hukum yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu, Allah tidak memperbolehkan kita untuk memberikan suara bagi rezim kufur. Jika kita memilihnya berarti kita melakukan kesyirikan dengan menyekutukan sifat-sifat Allah dengan ciptaan-Nya (manusia), dan menyekutukan-Nya dengan segala sesuatu selainnya yang akan mengeluarkan anda dari ikatan Islam.

“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintah supaya kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”(QS.Yusuf, 12:40)

Jangan buktikan diri anda sebagai seorang munafik dengan mengatakan Allah adalah satu-satunya yang disembah, kemudian anda melakukan voting untuk thoghut dan mengikuti mereka untuk membuat hukum-hukum mereka dan memerintahkan untuk mentaatinya padahal itu adalah hukum selain hukum Allah.

Ingatlah firman Allah:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang telah mengaku dirinya beriman kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thoghut,padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thoghut itu. Dan syaithon bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’,4:60).


Wahai kaum muslimin, mengapa kita melakukan voting? Apakah kita membutuhkan voting (memberikan suara) untuk hukum buatan manusia? Bukankah ini malah menjadikan mereka lebih kuat untuk melawan kaum muslimin atau apakah karena mereka menjanjikan solusi yang baik bagi kehidupan kita? Bagaimana kita dapat memberikan ijin kepada seseorang untuk membuat hukum, padahal Nabi Muhammad membawakan kita Al-Qur’an (pedoman yang lengkap) yang mengatur setiap bidang kehidupan kita? Wahai umat Islam, kita tidak perlu memberikan suara untuk mereka sehingga mereka dapat menciptakan sistem. Kita mempunyai Al-Qur’an, yang memberikan solusi yang jelas dan paling sempurna dan juga keadilan terhadap setiap permasalahan yang muncul:

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah,5:50)

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah kami datangkan kitab kepada mereka. Mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang ragu”.(QS.Al An’am,65:114).

“Kepunyaan-Nyalah semua yang di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya, tidak ada seseorang pelindungpun bagi mereka selain daripada-Nya, dan Dia tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu-Nya dalam menerapkan keputusan.”(QS.Al Kahfi, 18:26)

Allah tidak memperbolehkan kita untuk memberikan bagian Allah kepada sesuatu yang lainnya, mengizinkan mereka membuat hukum untuk manusia. Oleh karena itu pikirkanlah dan renungkanlah semua ayat-ayat di atas dan pikirkan apakah anda membuktikan diri anda sebagai seorang munafik atau membuktikan diri anda sebagaimana yang telah anda nyatakan.

Untuk itu kepada saudaraku seiman, kami peringatkan dan nasehatkan kepada Anda sekali lagi, Jangan memberikan suara!!!

Wallahu ‘alam bis Showab!

sisi-sisi kekafiran sistem demokrasi & status penganutnya

Sisi-Sisi Kekafiran Sistem Demokrasi &
Status Para Penganutnya
Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat.
Amma ba’ad :
Ikhwani fillah, materi kali ini adalah tentang sisi-sisi kekafiran sistem demokrasi. Dalam bahasan ini akan dijelaskan tentang sisi-sisi yang merpakan kekafiran yang ada pada sistem demokrasi
I. Sisi-Sisi Kekafiran Sistem Demokrasi
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan dalam hadits shahih :
“Hari kiamat tidak akan tiba sampai sebagian besar dari ummatku ini kembali menyembah berhala dan sampai sebagian besar dari ummatku ini berbagabung dengan kaum musyrikin”
Dalam hadits ini Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan dua macam kemusyrikan, yang pertama Syirik Ibadatil Ausan (syirik penyembahan berhala), beliau bersabda dalam hadits shahih
“Ya Allah jangan Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah”.
Di sini kuburan Rasul bila di “mintai” atau orang “memohon” kepada kuburan Rasul, maka itu berarti telah menjadikan kuburan beliau sebagai berhala. Begitu juga kuburan-kuburan yang lainnya. Ini adalah maksud dari hadits : “Sampai sebagian besar dari ummatku ini kembali menyembah berhala” adalah mereka jatuh ke dalam syirik-syirik kuburan (Syrkul Qubur).
Adapun yang kedua adalah “sampai sebagian besar dari ummatku ini bergabung dengan kaum musyrikin”, ini adalah Syirik Luhuq Bil Musyrikin (syirik karena sebab kebergabungan dengan kaum musyrikin), dan ini realitanya adalah dengan bentuk Syirik Dustur (syirik aturan).
Semua orang mengetahui bahwa ada yang namanya Sistem Demokrasi. Demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan/kedaulatan) yang berarti kekuasaan berada di tangan rakyat atau kedaulatan berada di tangan rakyat. Sistem ini kemudian diadopsi oleh orang-orang yang mengaku Islam dan dibawa ke negeri kaum muslimin dan dipaksakan untuk diterapkan di tengah mereka. Hal-hal yang muncul dari sistem demokrasi ini adalah masuk ke dalam syirik kebergabungan dengan kaum musyrikin seperti apa yang dijelaskan oleh hadits di atas dan nanti akan ada penjelasannya.
Demokrasi adalah sistem syirik, kemusyrikan dari banyak sisi, diantaranya :
1. Menetapkan kewenangan pembuatan hukum kepada selain Allah
Sistem demokrasi ini adalah system yang dibuat untuk melepaskan diri dari hukum Allah. Mereka merampas salah satu sifat/hak Allah sebagai Pembuat dan Pemutus hukum dan memberikan hak pembuatan hukum ini kepada makhluk. Bukan hanya meyekutukan Allah dalam hukum-Nya, akan tetapi mereka merampas hak kewenangan pembuatan hukum dari Tangan Allah dan melimpahkannya kepada setiap individu manusia.
Akan tetapi dikarenakan manusia atau rakyat ini jumlahnya sangat banyak dan tidak mungkin untuk berkumpul dalam satu tempat, maka mereka membuat sistem perwakilan untuk mewakilkan hak-hak atau sifat pembuatan hukum tadi kepada wakil-wakilnya di Parlemen (MPR/DPR) untuk menjalankan hak atau sifat kewenangan pembuatan hukum.
Sedangakan di dalam ajaran Allah, hak pembuatan hukum itu hanya di Tangan Allah, Dia Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah kecuali kepada Dia. Itulah dien yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Yusuf : 40)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa penyandaran hukum kepada Allah adalah ibadah, dan Allah memerintahkan kepada manusia agar tidak menyandarkan kewenangan pembuatan hukum kecuali kepada Allah, dan ini disebut beribadah kepada Allah, dan ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu disebut beribadah kepada selain Allah atau sebagai bentuk kemusyrikan terhadap Allah.
Hukum ini sendiri dalam ayat itu Allah sebut sebagai DIEN (itulah dien yang lurus). Jadi hukum ini adalah dien, ketika orang mencari hukum selain hukum Allah maka dia telah mencari dien selain dien Islam, Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengatakan :
“Barangsiapa mencari dien selain Islam tidak mungkin diterima dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali Imran : 85)
Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga berfirman :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah : 31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis :
1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang hahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan : “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka?. Maka Rasul mengatakan : “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab : “Ya”, Rasul berkata lagi : Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).
Ketika hak kewenangan pembuatan hukum disandarkan kepada selain Allah seperti kepada alim ulama dan para pendeta, maka itu disebut sebagai bentuk penuhanan atau peribadatan kepada mereka, dan orang yang menyandarkannya atau orang yang mengikuti dan merujuk kepada hukum buatan disebut orang musyrik yang beribadah kepada hukum tersebut dan juga telah mempertuhankan si pembuat hukum tersebut yang mana si pembuat hukum itu disebut arbab (tuhan-tuhan pengatur).
Dalam sistem demokrasi, sumber hukum bukanlah dari Allah (Al Qur’an dan As Sunnah) melainkan Undang Undang Dasar yang dibuat oleh makhluk, ini adalah sebuah bentuk kemusyrikan karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengatakan :

“Dan Dia tidak menyertakan seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam hukum-Nya”. (Al Kahfi : 26)
Allah tidak menyertakan seorangpun dalam hukumnya, baik itu dalam hukum syar’iy ataupun hukum kauniy, dan dalam qira’ah Ibnu Amir ayat ini dibaca “janganlah kamu menyekutukan seorangpun dalam hukumnya”, sedangkan dalam sistem demokrasi; bukan hanya sekedar menyekutukan Allah, akan tetapi merampas hak pembuatan hukum ini untuk kemudian diberikan kepada selain Allah, yaitu kepada individu-individu rakyat, dan melalui PEMILU hak ini diwakilkan kepada calon-calon legislatif yang nantinya mereka akan duduk di kursi Parlemen. Hakikat pemilu itu adalah orang mengangkat tuhan-tuhan yang akan membuat hukum
Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga telah mencap para pembuat hukum itu sebagai sekutu-sekutu dalam firman-Nya :
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dalam dien (ajaran/hukum) ini apa yang tidak diizinkan Allah ?”. (Asy Syura : 21)
Para pembuat hukum selain Allah di vonis sebagai Arbab (dalam At Taubah : 31), dikatakan sebagai syuraka atau sekutu-sekutu (dalan Asy Syura : 21), dan dalam ayat yang lain Allah sebut mereka sebagai wali-wali syaitan :
“Dan janganlah kalian memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya itu adalah perbuatan kefasikan. Sesungguhnya syaitan membisikkan kepada wali-walinya (kawan-kawannya) agar mereka membantah kalian; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am : 121)



Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan tentang tipu daya syaitan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram, namun dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai sembelihan Allah.
Dalam hadits dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu 'anhu : Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan berkata : “Hai Muhammad, ada kambing mati pagi hari, siapa yang membunuhnya ?”, Rasulullah mengatakan : “Allah yang membunuhnya (mematikannya)”, kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan : “Kambing yang kalian sembelih dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal, sedangakan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya Yang Mulia dengan pisau dari emas kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.
Ini adalah ucapan kaum musyrikin kepada kaum muslimin, Allah katakan bahwa ucapan itu adalah bisikan syaitan terhadap mereka (Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu) untuk mendebat kaum muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu setelah itu Allah peringatkan kepada kaum muslimin jika seandainya menyetujui dan mentaati mereka meski hanya dalam satu hukum atau kasus saja dengan firman-Nya “Maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”
Allah Subhanahu Wa Ta'ala mencap bahwa orang yang membuat hukum selain Allah disebut sebagai wali syaitan, dan produk hukum yang buat itu pada hakikatnya adalah hukum syaitan.
Karena dalam sistem demokrasi yang membuat hukum itu adalah selain Allah yaitu rakyat melaui wakil-wakilnya, jika di Indonedia adalah sebagaimana yang telah dijabarkan dalam Undang Undang Dasar RI tahun 1945, yaitu bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat berdasarkan Undang Undang Dasar, dan bisa didapatkan juga bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga yang berhak membuat dan mengamandemen Undang Undang Dasar, atau nanti juga bisa didapatkan pasal bahwa setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan Undang Undang Dasar, dan ini semua bisa dilihat dalam kitab Undang Undang Dasar mereka.
Hukum yang muncul dalam sistem demokrasi adalah hukum syaitan walaupun “wajahnya” seperti syari’at Islam, seandainya hukum potong tangan muncul dalam sistem demokrasi (dari DPR/MPR atau Pemerintah tahghut) maka itu bukanlah hukum atau syari’at Allah, akan tetapi syari’at Thagut atau syari’at demokrasi. Karena hukum tersebut tidak muncul dari Allah, melainkan muncul dari sistem demokrasi yang dibuat oleh para arbab yang mengklaim bahwa dirinya yang berhak membuat hukum dan perundang-undangan.
Jengis Khan membuat suatu kitab hukum yang bernama Yasiq (Ilyasa), kitab ini adalah hasil rangkuman dari hukum Islam, Yahudi, Nashrani, dari pendapat ahlu bid’ah dan sebagian dari buah karya fikirannya sendiri dan diberlakukan pada anak cucunya (ini sama seperti KUHP di Indonesia). Dalam kitab hukum Yasiq ini terdapat beberapa hukum yang sama dengan hukum Islam tapi itu tidak disebut sebagai hukum Islam, melainkan hukum Yasiq (Ilyasa). Ulama mengatakan bahwa yang menerapkannya adalah orang kafir.
Maka orang zaman sekarang yang tertipu atau mereka yang tidak mengikuti jalan yang syar’iy, mereka mengatakan ingin “menggolkan” syari’at Islam lewat Perda-Perda, tetapi bagaimana bisa ??! itu bisa saja terjadi akan tetapi namanya bukanlah syari’at Islam, tapi namanya syari’at demokrasi. Karena itu munculnya bukan dari Allah akan tetapi itu muncul dari para arbab mutafarriqun (tuhan-tuhan pengatur yang beraneka ragam) yang diberikan kewenangan hukum berdasarkan UUD tahun 1945.
2. Kebenaran itu adalah suara yang terbanyak.
Dalam sistem demokrasi, mereka menyandarkan kebenaran itu kepada suara rakyat atau mayoritasnya. Sebagaimana di awalnya demokrasi adalah hukum rakyat, maka yang diinginkan oleh mayoritas rakyat itu adalah kebenaran yang wajib ditaati dan dituruti.
Sedangkan dalam ajaran Islam, kebenaran itu adalah apa yang muncul dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebagaimana firman-Nya :
“Kebenaran itu berasal dari Tuhanmu, maka jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (Al Baqarah : 147)
Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga mengatakan :
“Kebenaran itu adalah yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu tergolong orang-orang yang ragu”. (Ali Imran : 60)
Jika dalam demokrasi kebenaran itu berasal dari hawa nafsu mayoritas manusia, sedangkan dalam Islam maka yang harus diikuti adalah apa yang Allah turunkan, atau kebenaran adalah apa yang Allah turunkan meskipun itu bertentangan keinginan atau hawa nafsu mayoritas manusia. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian“ (Al A’raf : 3)
Akan tetapi dalam demokrasi dikatakan “ikutilah apa yang diinginkan oleh suara terbanyak” karena itu adalah kebenaran. Dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta'ala banyak sekali memvonis bahwa mayoritas itu adalah berada di atas kesesatan, di antaranya :

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS Al An’am 6 : 116)
3. Kebebasan untuk meyakini dan bebas untuk mengeluarkan pendapat.
Dalam demokrasi, manusia dibebaskan untuk meyakini atau menganut ajaran atau agama apa saja. Orang dibebaskan untuk keluar (murtad) dari Islam, orang boleh mencemoohkan ajaran Islam, karena demokrasi memberikan kebebasan bagi rakyat untuk memilih apa yang akan dianutnya, dan karena rakyat memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat dengan bebas, baik itu pendapat kekafiran atau kemurtaddan ataupun pendapat yang lainnya.
Dalam sistem demokrasi orang bebas untuk murtad, memeluk Islam atau memeluk agama yang lainnya, baik itu Nashrani, Hindu atau Budha, membuat tumbal, sesajian, atau meminta-minta ke kuburan, semua itu tidak akan dilarang.
Dalam sistem demokrasi orang bebas meyakini, manganut, memeluk, mengeluarkan pendapat, dan pemikirannya walaupun itu bertolak belakang dengan ajaran Allah.
Sedangkan dalam Islam orang tidak bebas untuk memeluk keyakinan atau menganut ajaran tertentu, orang tidak akan bebas untuk keluar masuk agama Islam karena Rasulullah mengatakan:
“barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah”,
orang tidak boleh mencemoohkan ajaran Islam, karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberikan batasan-batasan yang tidak boleh dilampaui oleh makhluk.
4. Menyamaratakan orang muslim dengan orang kafir
Di dalam demokrasi, orang muslim dengan orang kafir adalah sama dalam hak dan kewajibannya. Antara ulama dengan orang zindiq adalah sama di dalam sistem demokrasi ini. Orang murtad atau orang kafir dengan orang muslim yang taat adalah sama dalam sistem ini, juga antara laki-laki dengan perempuan adalah sama.
Ini bisa dilihat dalam Pemilu demokrasi yang mana semuanya adalah sama hak dan kewajibannya, sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam banyak ayat Al Qur’an mengingkari penyamaan antara orang-orang kafir dengan orang-orang Islam :
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu”. (Al Jaatsiyah : 21)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengingkari kepada orang yang menyamakan antara orang yang kafir dengan orang yang mukmin. Karena ada perbedaan antara keduanya, baik itu di dunia maupun di akhirat, sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam materi Konsekuensi-Konsekuensi Terhadap Orang Murtad.
Orang kafir juga ada perbedaannya, apakah itu kafir asli atau apakah kafir dzimiy, karena itu sangat berbeda sekali. Sedangkan dalam ajaran demokrasi semua perbedaan-perbedaan ini ditiadakan dan menganggap semuanya sama. Dalam ajaran demokrasi setiap warga negara adalah sama kedudukannya di hadapan hukum dari sisi hak dan kewajiban.
Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Apakah Kami akan menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal shalih seperti orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi ? ataukah Kami akan menjadikan orang-orang yang bertaqwa seperti orang-orang yang fajir ? (QS Shad)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengingkari penyamaan antara orang muslim dengan orang kafir, bahkan dalam surat yang lain Allah mengatakan tentang orang yang menyamakan antara orang muslin dengan orang yang kafir :
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang mujrim (orang kafir)? kenapa kamu (berbuat demikian) : Bagaimanakah kamu mengambil keputusan ? Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. Atau apakah kamu memperoleh janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari kiamat; sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu) ?” (Al Qalam : 35-39)
Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? adalah pertanyaan alasan kenapa kamu (wahai penganut demokrasi) menyamakan antara orang muslim dengan orang kafir ? Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya? Apakah kalian memilliki kitab yang di dalamnya tertera bahwa orang kafir itu sama dengan orang muslim di hadapan hukum dalam hak dan kewajibannya ? Maka para penganut demokrasi akan menjawab : Ya, kami punya kitab yang di dalamnya kami mendapatkan persamaan hak antara orang muslim dengan orang kafir, yaitu di antaranya kitab UUD 1945 yang mengatakan bahwa setiap warga negara berkesamaan kedudukannya di hadapan hukum.
5. Memutuskan dengan selain hukum Allah
Hukum yang berjalan dalan sistem demokrasi bukanlah hukum Allah, apapun bentuk macam dan ragamnya, meskipun itu serupa dengan potong tangan sepeti yang ada dalam hukum Allah, akan tetapi bila itu ada dalam bingkai demokrasi maka itu bukanlah hukum Allah meskipun itu dinamakan Perda Syari’at atau apapun namanya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengatakan :

“Putuskanlah diantara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan, dan jangan kamu mengikuti keinginan mereka dan hati-hatilah terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkan kamu dari sebagian apa yang yang telah Allah turunkan kepadamu” (Al Maidah : 49)
Akan tetapi sistem demokrasi mengatakan “dan putuskanlah diantara mereka dengan apa yang digulirkan oleh para pembuat hukum”, Allah berfirman : “Jangan ikuti keinginan mayoritas mereka (manusia)”, akan tetapi sistem demokrasi mengatakan “ikutilah keinginan mayoritas manusia”. Allah berfirman : “Hati-hatilah terhadap mayoritas manusia, jangan sampai mereka menyesatkan kamu dari apa yang telah Allah turunkan”, tapi sistem demokrasi mengatakan “Hati-hatilah kamu jangan sampai menyelisihi keinginan mayoritas manusia”. Semuanya bertolak belakang, oleh karena itu apapun bentuk hukum yang muncul dari sistem demokrasi adalah syari’at kafir, maka kesalahan besarlah bagi orang-orang yang mendukung apa yang dinamakan “Perda Syari’at”, karena sebenarnya dia tertipu.





6. Tuhan-tuhan dalam sistem demokrasi adalah sangat banyak
Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengatakan kepada dua orang kawannya di dalam penjara :
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan pengatur yang beraneka ragam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yusuf : 39)
Di dalam demokrasi terdapat banyak arbab, arbab adalah tuhan-tuhan pengatur. Tuhan pengatur dari berbagai partai, baik itu dari PKS, GOLKAR, PDIP, PPP, PKB atau yang lainnya. Sedangkan dalam ajaran Allah hanya ada satu Rab, yaitu Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Perbedaan ini sangat jauh, hukum Islam adalah dari Allah Sang Pencipta yang mengetahui apa yang akan terjadi dan mengetahui apa yang paling dibutuhkan manusia, sedangkan arbab mutafarriqun dari berbagai partai itu adalah manusia biasa, makan dan minum seperti kita, mereka juga membutuhkan apa yang dibutuhkan oleh manusia. Ini adalah perbedaan antara tuhan-tuhan para penganut demokrasi dengan Tuhan orang-orang penganut Islam…
Syaikh Muhammad Asy Syinqithiy rahimahullah mengatakan : “Setiap orang yang mengikuti aturan/hukum/undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah syari’atkan lewat lisan Rasul-Nya, maka dia musyrik kafir lagi menjadikan yang diikuti sebagai rab (tuhan)”
Ini adalah sisi-sisi kekafiran demokrasi.
II. Status Para Penganut Sistem Demokrasi
Sekarang adalah bagaimana dengan orang yang menganut sistem demokrasi ini? berikut ini adalah penjelasannya.
Orang yang menganut sistem demokrasi adalah orang kafir, yang dikafirkan dalam kemusyrikan sistem demokrasi adalah sebagaimana apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdul Wahhab rahimahullah ketika mengkafirkan orang-orang yang melakukan perbuatan syirik adalah :
1. Orang yang melakukannya.
Ini adalah orang yang terjun langsung dalam sistem demokrasi, orang yang membuat partai yang akan masuk dalam sistem demokrasi, juga orang yang masuk ke dalam parlemen demokrasi, baik dia membuat hukum atau tidak dan baik dia disumpah atau tidak, karena dia adalah termasuk arbab juga thaghut yang karena proses untuk masuk ke dalamnya adalah melalui jenjang-jenjang kekafiran yang berlapis-lapis. Orang tidak mungkin masuk ke dalamnya tanpa menyetujui sistem demokrasi, sedangkan orang yang setuju dengan kekafiran itu adalah kafir, dan tidak sekedar setuju, tetapi harus mengikuti sistem ini, oleh karena itu ketika pemilu ia akan berusaha untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya karena kebenaran yang di anut dalam sistem demokrasi adalah suara terbanyak (mayoritas).


Dia juga mengajak orang untuk berbuat kemusyrikan (du’at ila syirk) dengan cara mencoblos namanya dalam pemilu untuk mencalonkan dia dari partainya.
Panjangnya jenggot atau celana yang tidak isbal atau jilbab yang panjang atau karena dia memakai jubah atau dia digelari kiyai/ulama/ustadz, semua itu tidak menghalagi dari pengkafiran (mawani’ takfir) di dalam Islam.
2. Orang yang memperindahnya di hadapan manusia
Ini adalah seperti para cendikiawan-cendikiawan atau ulama-ulama kaum musyrikin yang menghiasi sistem demokrasi sebagai sistem yang paling bagus, paling baik dan paling layak diterapkan.
3. Orang yang menggulirkan syubhat-syubhat yang bathil
Mereka ini adalah orang-orang yang menebarkan berbagai syubhat untuk melegalkan atau menggulirkan sistem demokrasi. Ulama-ulama kaum musyrikin zaman sekarang yang membolehkan orang-orang masuk ke dalam sistem demokrasi dengan menjual kisah-kisah para nabi seperti kisah nabi Yusuf yang menjadi menteri raja, atau dengan istilah syuraa, dan syubhat-syubhat lainnya yang biasa dilontarkan ulama kaum musyrikin. Seperti ulama terkenal Yusuf Al Qardlawi yang melegalkan sistem demokrasi dan bahkan dia mewajibkan orang untuk masuk dalam sistem demokrasi dengan cara mempelintir ayat-ayat Al Qur’an, maka dia sudah kafir dari sisi melegalkannya (mewajibkannya) dan menganggap berdosa orang yang tidak ikut di dalamnya, dan berdusta atas nama Allah karena ketika mewajibkan masuk ke dalam demokrasi maka itu mengklaim bahwa Allah memerintahkan untuk melakukan kemusyrikan, dan menyandarkan itu semua kepada ajaran Islam. Sedangkan berdusta atas nama Allah lebih besar kekafirannya daripada kemusyrikannya itu sendiri.
4. Orang yang melindungi kemusrikannya
Ini adalah seperti para aparat polisi atau tentara yang melindungi sistem demokrasi ini dengan senjata-senjatanya. Orang seperti ini adalah orang kafir.
III. Status orang yang mencoblos atau memberikan suara
Di sini ada perbedaan antara orang yang mengetahui apa arti demokrasi dengan orang yang tidak mengetahui.
Pertama : Jika dia mengetahui bahwa pemilu demokrasi itu adalah melimpahkan wewenang hukum kepada rakyat melaui wakil-wakilnya yang mana pemilu itu sebagai sarana dalam rangka memilih wakil-wakil rakyat yang akan membuat hukum. Akan tetapi dia tetap mencoblos dan memberikan suara dalam pemilu, maka dia kafir walaupun tidak mengetahui bahwa demokrasi itu adalah sistem syirik.
Kedua : Orang yang tidak mengetahui hakikat demokrasi atau dia tidak mengetahui hakikat mencoblos dalam pemilu itu apa, atau dia hanya mengira bahwa pemilu itu hanya memilih orang-orang yang akan mengurusi daerahnya, atau dia hanya orang yang melihat slogan-slogan Al Islam dari partai-partai yang mengaku Islam bahwa “Islam adalah solusi” untuk keluar dari berbagai krisis yang sedang terjadi, dan dia mengira bahwa ini yang akan menegakkan hukum Allah, tapi dia tidak mengetahui dengan cara apa mereka (partai-partai itu) akan menegakkan syari’at Allah, maka bagi orang yang tidak mengetahui hakikat pemilu demokrasi seperti ini adalah sama seperti orang yang mengucapkan kalimat kekafiran dengan bahasa asing yang tidak dia fahami. Orang seperti ini tidak dikafirkan langsung sampai diberikan penerangan tentang apa arti daripada demokrasi dan hakikat pemilu itu, sebagaimana diberikan penjelasan tentang apa arti bahasa kekafiran yang dia ucapkan. Apabila setelah diberikan penjelasan tapi dia bersikeras dengan apa yang dilakukannya, maka dia sudah terjatuh ke dalam kekafiran sehingga kita boleh mengakafirkannya.
Sedangkan realita dalam masyarakat kedua jenis orang seperti ini ada dan bercampur baur dan kita tidak bisa membedakannya secara langsung, apakah orang yang mencoblos ini termasuk golongan yang pertama ataukah yang kedua, ini adalah yang dinamakan Jahilul Hal, maka kita tidak boleh mengakafirkannya sampai kita mengetahui apakah dia termasuk golongan yang yang mengetahui ataukah dia termasuk golongan yang tidak mengetahui hakikat pemilu demokrasi yang harus kita beri penjelasan, sehingga pengkafiran itu berada di atas kejelasan di atas ilmu.
Dan orang yang membuat partai untuk ikut serta dalam sistem demokrasi atau ikut serta sebagai kontestan dalam pemilu demokrasi, maka status dia sama dengan anggota dewan di parlemen, karena angota parlemen itu tidak akan ada tanpa adanya partai politik yang ikut serta dalam sistem demokrasi, sedangkan hukum sarana sama dengan hukum tujuan.
IV. Status ulama yang memfatwakan kebolehan masuk dalam sistem demokrasi
Begitu juga dengan ulama-ulama yang memfatwakan bolehnya masuk ke dalam sistem demokrasi atau masuk ke dalam parlemen, maka ini ada dua golongan :
Pertama : ulama yang tidak mengetahui hakikat parlemen dalam demokrasi, terus dia memberikan fatwa yang membolehkan untuk masuk ke dalam parlemen atas dasar kejahilan terhadap realita, maka ulama ini adalah ulama sesat lagi menyesatkan.
Begitu juga dengan ulama yang memfatwakan boleh masuk ke dalam parlemen dengan syarat jangan membuat hukum atau jangan duduk di majelis kekafiran, jangan mendukung hukum selain hukum Allah, walaupun dalam realitanya hal seperti tidak ada, tapi bila dia meberikan syarat-syarat bila mau masuk ke dalamnya. Sedangkan bila orang yang mengikuti fatwa itu padahal dia mengetahui hakikat demokrasi dan dia ikut mencoblos maka dia kafir. Ini lain halnya dengan ulama yang memberikan fatwa tadi.
Kedua : Ulama yang mengetahui hakikat demokrasi, terus dia membolehkan orang masuk ke dalam sistem demokrasi dengan dalih —umpamanya— Mashlahat Dakwah atau bahkan dia memberikan syubhat-syubhat untuk melegalkannya, maka ulama semacam ini adalah ulama kaum musyrikin, dan dia adalah orang kafir.
Ini adalah materi yang berkaitan dengan masalah demokrasi, Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat serta para pengikutnya sampai hari kiamat. Alhamdulillahirabbil’alamiin…


voting untuk hukum buatan manusia adalah murtad

بسم الله الرحمن الرحيم



VOTING UNTUK HUKUM BUATAN MANUSIA ADALAH MURTAD





© Copyright dilarang dalam Islam,
dipersilakan menyebarluaskannya dengan bebas.



www.almuhajirun.com



Daftar Isi


Pembukaan

Dalil Dalam Islam

Dalil Yang Benar Dalam Islam

Contoh Dalil-dalil Yang Tidak Benar

Argumen-argumen Yang Terdengar Bagus

Kesimpulan dan Nasehat

Lampiran

Alternatif Islam Untuk Voting

Voting Untuk Anggota Dewan Adalah Terlarang

Menghargai Partai

Pembukaan

Segala puji bagi Allah Swt.. Kami memujinya dan mencari ampunanNya. Siapa saja yang Allah tunjuki, tidak seorangpun bisa menyesatkannya. Dan siapa saja yang disesatkan Allah tidak seorangpun bisa menunjukinya.

Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan kami bersaksi bahwa Nabi Muhammad Saw. Rasul Allah yang terakhir.

Begitu banyak diperdebatkan pada saat ini menyangkut tentang ketidakbolehan voting dalam Islam. Orang-orang moderat, sekuler dan orang-orang yang tidak mengamalkan Islam berargumen bahwa voting boleh (dan dalam beberapa kasus menjadi wajib), dimana Muslim yang ittiba kepada salafus sholeh berargumen bahwa itu adalah perbuatan murtad (Kufur dan Syirik).

Risalah singkat ini berusaha untuk mengklarifikasi dan membantah kesalahan konsep berkenaan tentang voting secara sederhana.

Kami memohon pada Allah Swt. untuk memberikan pahala bagi orang-orang yang terlibat dalam perjuangan ini, seperti halnya bagi orang-orang yang berjuang secara berjama’ah untuk menerapkan dienNya.

Memahami Konsep Voting

Sebelum kita memasuki perdebatan atau diskusi, pertama kita perlu mempunyai pemahaman yang menyeluruh tentang realitas. Apa pengertian voting dan apa akibatnya? Bukti-bukti apa saja dalam Syari’ah dan apakah itu tidak ada?

Voting adalah proses memilih. Ini selanjutnya, dibolehkan tetapi hanya dalam hal-hal yang hanya status hukumnya mubah dalam Syari’ah.

Sebagai contoh, jika sebuah kelompok yang terdiri dari lima orang ingin melaksanakan Shalat, mereka mungkin akan melakukan voting bagi siapa yang mempunyai pengetahuan tentang Al-Qur’an dan yang bacaannya bagus untuk menjadi imam kemudian memimpin shalat.

Atau andaikata individu yang sama tidak bisa memutuskan untuk pergi dengan bus atau dengan kereta ke masjid, dibolehkan bagi mereka untuk voting dan memilih transportasi yang sesuai dengan mereka.

Selanjutnya, voting untuk sesuatu yang dilarang (haram) dalam syari’ah, maka tidak dibolehkan. Sebagai contoh, dilarang bagi Muslim untuk mengucapkan, “Manakah yang harus kita minum orange juice atau vodka? Mari kita voting!” atau, “Dengan apa seharusnya kita hidup, dengan Syari’ah atau demokrasi?”

Lebih lanjut, kita seharusnya tidak naïf dan berfikir bahwa pernyataan, “Voting adalah perbuatan Murtad” condong pada voting dalam pengertiannya secara umum; itu dalam konteks bagi seseorang yang ingin membuat hukum dan menjadi seorang anggota dalam pemerintahan yang tidak Islami.

Voting dengan pengertian ini tidak dapat disangkal dan diragukan lagi hukumnya, yakni terlarang (haram) dalam Islam. Faktanya, jika diteliti lebih dalam lagi maka itu “syirik”. Ini karena pekerjaan dari seorang anggota parlemen adalah membuat hukum. Sebagai seorang Muslim, kita beriman bahwa yang menetapkan hukum adalah hak Allah Swt. semata, Dia adalah Al-Hakam. Selanjutnya, voting pada seorang anggota parlemen adalah sebuah perbuatan syirik karena itu sama saja dengan memberikan atau mengambil hak Tuhan (membuat hukum) kepada manusia.

Voting untuk anggota dewan juga terlarang sebagaimana tugas mereka (1) perwakilan partai-partai non-Islam dan (2) kebenyakan terlibat dalam pembuatan hukum.

Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk menolak Tuhan-tuhan palsu yang menjadikan orang-orang sebagai sekutuNya, tidak untuk voting kepada mereka.

Dalil Dalam Islam

Demikianlah penjelasan singkat dalam pandangan Islam berkaitan dengan masalah ini. Namun, ada sebagain orang yang akan memberikan pembenaran voting sebagai mata pencaharian mereka dan karena mereka ingin sekali mendapatkan keuntungan dunia (uang, status, jabatan dan popularitas). Namun, sebelum kita membantah argumen mereka pertama kita harus menetukan apa yang bisa diambil sebagai hujjah dalam Islam.

Hujjah Yang Benar Dalam Islam

Setiap perbuatan seorang Muslim harus berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Rasulullah Saw. bersabda:

“Siapa saja yang melakukan perbuatan tidak berdasarkan pada ajaran ku maka itu tertolak
(tidak akan diterima oleh Allah).”
(HR Muslim)

“Sungguh, telah aku tinggalkan kepada kalian, yang jika kalian memeluknya maka tidak akan tersesat – Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
(Al Hakim)

Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak begitu saja dapat kita tafsirkan dan opinikan. Satu-satunya penafsiran yang diterima dari Al-Qur’an dan Sunnah adalah dari Shahabat dan generasi pertama dalam Islam (As-Salafus Shalih) – karena mereka telah diridhoi oleh Allah Swt. dan RasulNya Saw.

Allah Swt. berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah…”
(QS At Taubah, 9: 100)

Dan Rasulullah Saw. bersabda:

“Sungguh sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelah mereka…”
(HR Muslim Hadits no. 2535)

Maka dengan kata lain, hujjah bagi kita adalah (1) Al-Qur’an dan (2) Sunnah – berdasarkan pemahaman genersi pertama (terbaik) dalam Islam yang dikenal sebagai Salafus Shalih.

Contoh Hujjah Yang Tidak Benar

 Opini dari masyarakat mayoritas

Opini mayoritas tidak bisa diambil sebagai hujjah dalam perbuatan, walaupun mayoritas yang ada adalah Muslim. Allah Swt. berfirman:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS Al An’aam, 6: 116)

Selanjutnya, mayoritas manusia adalah tersesat dan berpeluang besar menghuni neraka.

 Logika atau rasio

Logika atau rasio seseorang tidak bisa diambil sebagai Hujjah. Allah Swt. berfirman:


“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.”
(QS Al Baqarah, 2: 216)

Selanjut, adalah sebuah kesalahan bagi seseorang yang mengatakan: “Tidak ada yang salah secara logika dengan voting.” Allah Swt. adalah satu-satunya yang memutuskan apakah sesuatu itu terlarang atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah dan wajib atau haram.

Argumen Yang Terdengar Bagus

a) “Kita membantu saudara dan saudari kami”

Meskipun pernyataan yang dangkal terdengar sangat masuk akal dan sering digunakan untuk menipu kaum Muslimin, itu adalah tindakan yang mengada-ada. Jika seseorang ingin mempunyai pengaruh politik, maka seseorang itu perlu untuk menjadi seseorang yang benar-benar Muslim atau menunjukkan dukungannya kepada kaum Muslimin, yang dengan itu mereka bisa bersuara melawan hukum buatan manusia. Dalam kasus perang di Iraq, parlemen telah voting tentang manfaat dari perang dengan 396 suara (mendukung perang) melawan 217 (menolak perang), lebih besar 197. Kenyataan yang berbicara, hanya dengan dua juta Muslim di UK dengan tidak ada kejelasan mayoritas dalam semua konstitusi, konsekuensinya kaum Muslimin tidak akan pernah bisa mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi mayoritas atau dekat dengan mayoritas dalam parlemen.

Lebih lanjut, dalam proses membantu satu sama lain, kita seharusnya tidak mendurhakai Allah dan selanjutnya itu akan membuatNya murka dengan melakukan syirik dan kufur.

b) “Jika kita tidak voting bagaimana kita menerapkan Syari’ah?”

Kita melakukan Shalat seperti Rasulullah Saw. Shalat, kita melakukan Haji seperti beliau melakukannya, kita berpuasa sebagaimana beliau Saw. berpuasa, kita melakukan Jihad sebagaimana belau telah melakukannya, dan kita menerapkan Syari’ah sebagaimana beliau telah menerapkannya. Nabi Muhammad Saw. tidak pernah menerapkan Syari’ah dengan bergabung dengan polisi atau militer Quraisy; dan tidak juga beliau menjadi anggota parlemen atau voting pada Abu Lahab tidak juga pada Abu Jahal.

c) “Orang-orang fasis/dzolim akan datang untuk menguatkan pemerintahan jika kita tidak ikut voting”

Tidak diragukan lagi, ini hanyalah taktik untuk menakut nakuti (kaum muslimin) yang telah digunakan kaum sekuleris seperti MCB, MPAC, YM (organisasi-organisasi sekuler di UK, semisal Jaringan Islam Liberal di Indonesia) dan lainnya. Tidak ada komentator politik yang muncul sampai saat ini seperti yang telah diusulkan sebuah penyebaran kemenangan bagi orang-orang fasis dalam semua bidang perpolitikan atau konstitusi, walaupun mereka datang untuk menguatkan, mana yang lebih keji yang bisa menyebabkan dengan mereka sebagai sebuah hasil? Di Inggris, tanpa bantuan dari BNP:

 Homoseksual dengan bebas diterima
 Perjudian telah ditetapkan
 Jutaan Muslim terbunuh di Afghanistan dan Iraq karena kebijakan luar negeri mereka.
 Ratusan Muslim memberontak kemudian ditahan dalam penjara tanpa tuduhan.
 Orang-orang Muslim terus-menerus ditahan dan dicari oleh polisi
 Wilayah lampu merah dan prostitusi sedikit demi sedikit nyaris dilegalisasi.
 Sekolah mengajarkan evolusi, atheisme.
 Orang-orang dengan bebas menghina Rasulullah saw.
 Islam masih tidak diterima sebagai agama yang sah dan konsekuensinya semua Muslim menjadi terdiskriminatif sebagai akibat dari agama mereka yang tidak sebanding.

Semua ini terjadi dengan persetujuan konservatif, orang-orang demokrat yang liberal dan partai buruh. Bagaimana bisa semua Muslim yang mengklaim bijaksana kemudian voting kepada semua partai yang berdasarkan pada alasan yang tidak menentu ini?

Allah Swt. menginformasikan kepada kita dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang munafik akan selalu bersekutu dengan Kuffar (seperti dengan voting untuk mereka) dan menggunakan alasan seperti, “Kami mungkin akan diperangi atau dibunuh jika kita tidak melakukan demikian.” Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu Keputusan dari sisi-Nya. Maka Karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”
(QS Al Ma’idah, 5: 51-52)

d) “Kita harus ambil bagian untuk meninggikan kehidupan di negara kita”

Ini adalah alasan yang tidak masuk akal dan pernyataan bodoh yang dibuat oleh beberapa maulana (seorang syaikh sufi). Hanya karena satu tempat tinggal dalam sebuah negeri tertentu, apakah seseorang yang ambil bagian disekitarnya tidak respek tentang apa yang dibelohkan oleh Syari’ah atau tidak? Dengan ini telah memutar logika seseorang yang juga seharusnya menjadi homoseksual, meminum alkohol, berjudi, dan membiarkan anak-anak mereka mempunyai pacar! Akankah dari beberapa maulana dan mufti ini membuat pernyataan yang tidak mendasar serupa jika mereka tinggal pada masa Nabi Luth A.s. ! ?

Muslim seharusnya menentang seruan untuk ambil bagian dalam pemilihan sistem Kufur sama halnya dengan yang telah Allah Swt. perintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk menjawab Quraiys yang mengajak beliau Saw. untuk bergabung dengan sistem kufur mereka. Allah Swt. pada waktu itu menurunkan ayat:

Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
(QS Al Kafirun, 109: 1-6)


e) “Kita perlu mengembalikan pada masyarakat untuk kehidupan ini”

Pernyataan lain yang baru-baru ini telah muncul adalah tentang waktu bagi Muslim yang hidup dalam kehidupan barat untuk menjadi warga negara yang baik dan mengembalikan kepada masyarakat. Mereka merasa mencoba untuk berfikir bahwa pemerintahan kufur telah begitu seenaknya dalam menerima Muslim untuk negeri mereka dan kita seharusnya berterima kasih kepada mereka. Meskipun seperti sebuah argumen yang busuk dari mental imigran Asia yang lama, itu sekarang dipropagandakan kepada generasi kedua Muslim di barat.

Tidak ada seseorang pun yang meyatakan bahwa haram untuk mengkontribusi pada lingkungan yang ada di sekitarnya; namun, Muslim adalah seseorang yang memberikan pertolongan kepada Muslim di sekitarnya. Allah Swt. berfirman:

“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
(QS Al Hujarat, 49: 10)

Muslim tidak meninggalkan jalannya untuk mengkontribusi pada masyarakat kufur, sebagaimana niatnya adalah senantiasa untuk mencari ridha Allah Swt. dan mendukung dienNya, bukan dien Kuffar. Muslim yang berbuat untuk menyenangkan hati Kuffar harus diketahui bahwa perbuatan mereka akan tertolak, dan dalam kasus lain bisa mengakibatkan mereka menjadi murtad, seperti membantu polisi, atau tentara, atau menjadi anggota parlemen.

“Jika anda tidak menyukai negara ini maka tinggalkanlah!” Seseorang akan mempunyai anggapan seperti sebuah pernyataan yang hanya diatributkan pada rasis yang kejam, seperti orang-orang dari BNP (partai nasionalis di Inggeris). Namun, yang mengherankan sebagaimana mungkin terdengar, sekarang ini telah dimuntahkan oleh orang-orang sekuler.

Muslim yang hidup di negeri non-Muslim berkewajiban untuk mengajak non-Muslim pada jalan hidup yang superior (Islam), tidak mengikuti jalan hidup atau ideologi mereka. Selanjutnyan seseorang diharuskan untuk berhijrah bagi orang-orang yang tidak bisa lagi melaksanakan Islam dan memegang teguh dien mereka di sebuah wilayah.


f) “Nabi Yusuf telah berbagi kekuatan dengan seorang Kafir”

Ini adalah kebohongan besar dan fitnah melawan salah satu Nabi Allah yang seharusnya bisa dijelaskan jika orang-orang mau menghabiskan waktu sedikit untuk mencari ilmu.

Bagaimana bisa seseorang berasumsi bahwa Yusuf A.s. telah berkompromi dengan keimanannya dan bekerjasama dengan pemerintahan yang telah melegalisasi hukum buatan manusia, kemudian dia juga seseorang yang mengingatkan yang lainnya tentang isu ini, dengan berkata:

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah." (QS Yusuf, 12: 40)

Yang benar adalah: Raja Mesir telah memeluk Tauhid (menjadi Muslim) sebelum Yusuf A.s. datang masuk kedalam pemerintahan dengannya. Selanjutya, Nabi Allah tidak berbagi kekuasan dengan seorang Kafir.

Ibnu Katsir berkata: “Raja Mesir telah memeluk Islam dengan tangan Yusuf A.s., berdasarakan pada Mujahid R.a.’

Selanjutnya Syari’ah sebelum kita adalah hujjah untuk kita – berdasarkan pada mayoritas Ulama Ushul – tetapi hanya jika itu tidak bertolak belakang dengan Syari’ah yang telah dibawa oleh Muhammad Saw. dengan kata lain, seseorang tidak bisa berargumen bahwa alkohol itu halal sebagaimana itu halal pada masa Isa As..

g) “Ibnu Taimiyah memberikan sebuah fatwa yang membolehkan untuk bergabung dengan pemerintahan Kufur’

Ibnu Taimiyah R.a. hidup pada masa Syari’ah telah diimplementasikan. Konsekuensinya, fatwa bahwa orang-orang merujuk pada kebolehan untuk bergabung dengan “pemerintahan zalim” dikarenakanan ada negara Islam di masa itu.

Sebagaimana kita ketahui, setelah masa Salafus Shalih ada begitu banyak kezaliman yang tersebar dan kekuasaan tiran karena orang-orang lambat laun menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah sampai akhirnya runtuhnya Khilafah.

Disamping, apa yang Ibnu Taimiyah – atau semua Ulama dari kalangan Khalaf (modern) – katakan bukan bukti dengan dirinya sendiri, kecuali itu kembali pada bukti-bukti syar’i, kita mengikuti wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) bukan orang per-orang.

h) “Shahabat telah voting dan yang diberikan suara”

Sebagaimana telah disebutkan di awal bahasan, voting adalah sesuatu yang boleh tetapi hanya untuk sesuatau yang mubah.

Pada saat Shahabat bermusyawarah dan memilih siapa yang akan menjadi Amirul Mu’minin, mereka bukan voting untuk seseorang yang menetapkan hukum dan membolehkan apa yang Allah Swt. telah larang (hukum-hukum kufur). Ada perbedaan antara voting bagi Muslim yang diatur dengan Syari’ah dengan voting untuk Kafir yang akan membolehkan alkohol, nudisme, homoseksual, incest (pernikahan antar anggota keluarga), zina dan kejahatan lainnya. Masalah yang kita bicarakan adalah ketidakbolehan bagi seseorang untuk voting kepada orang yang akan membuat hukum-hukum kufur.

i) “Voting lebih sedikit daripada dua kejahatan”

Ini adalah salah satu argumen utama yang di sebutkan oleh orang-orang yang menyimpang untuk kembali pada pernyataan bahwa voting untuk seorang Kaafir yang menerapkan kekufuran atas kaum Muslimin adalah “lebih sedikit (mudhoratnya) dari dua kejahatan” dan selanjutnya membenarkan.

Untuk argumen semata, walaupun jika seseorang menawarkan sebuah pilihan antara dua kejahatan, yang berkata dia harus memilih sebuah kejahatan dan telah memilih yang sedikit jahat? Jika seseorang menawarkan untuk mengambil obat-obatan terlarang atau minuman beralkohol dia seharusnya menolak keduanya, tidak mengambil apa yang dia fikir “lebih sedikit jahat dari keduanya”.

Utsman bin Affan R.a. pernah berkata: “Minuman keras adalah kunci bagi semua kejahatan. Seorang lelaki pernah diminta untuk membunuh seorang anak, meminum secangkir khamer, atau berzina dengan seorang wanita. Dia berfikir untuk mengambil yang lebih sedikit keburukannya yaitu meminum khamer, kemudian dia menjadi mabuk lalu berzina dengan seorang wanita dan membunuh seorang anak.”

Lebih lanjut jika Syirik (menyekutukan Allah swt.) adalah kejahatan yang paling besar dalam Islam, bagaimana bisa (perbuatan syirik ini) menjadi “lebih sedikit jahat dari dua kejahatan”?

j) Syari’ah adalah mengambil apa yang bermanfaat dan mencegah yang merugikan

Fataawa (fatwa-fatwa) menyimpang ini dikeluarkan oleh “Ulama”, seperti Haitsam Al Haddaad, mempengaruhi kaum Muslimin untuk menerima itu (voting) dan mengatakan bahwa tujuan Allah Swt. menurukan Syari’ah adalah agar bermanfaat bagi seluruh manusia dan konsekuensinya, semua orang-orang yang berfikir bahwa seseorang merasa bahwa sesuau yang bermanfaat adalah dibolehkan dan sesuatu yang merugikan adalah Haram.

Walaupun Ulama Haq telah berbicara panjang lebar tentang tujuan Syari’ah adalah untuk menyebarluaskan kebaikan dan mencegah kejahatan, mereka tidak pernah menyebutkan bahwa kebaikan dan kejahatan adalah seseuatu yang diputuskan untuk orang tersebut.

Islam tidak berdasarkan pada hawa nafsu dan kemauan kita sendiri. Tetapi hawa nafsu dan kemauan kita yang harus sejalan dengan semua perintah Allah Swt.. Allah adalah an-Naafi’ (Pemberi Manfaat) dan ad-Daar (Pemberi Mudhorat/keburukan) serta Dia satu-satunya yang bisa memberikan keduanya kepada kita. Kebaikan dan keburukan adalah apa yang telah diturunkan dan yang telah disebutkan dalam Al-Qur’aan dan Sunnah, bukan dengan apa yang kita fikirkan. Dengan kata lain seseorang bisa berargumen bahwa riba adalah bermanfaat dari segi finansial maka kemudian selanjutnya menjadi halal, Siapa yang memperdebatkan ini? Sesuatu yang haram adalah haram, walaupun ada keuntungan pribadi di dalamnya.

Bantahan Allah Swt.

Argumen tentang manfaat dan kepentingan telah dibantah oleh Allah Swt sendiri. Dia Swt. berfirman:

“Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
(QS At Taubah, 9: 24)

Dalam ayat di atas, Allah Swt. telah memperhitungkan semua hal yang bisa dinyatakan menjadi bukti manfaat bagi seorang Muslim, dari kehidupan mereka, harta, bisnis dan keluarga mereka. Allah Swt. berfirman bahwa jika ini lebih kita sayangi daripada Allah RasulNya dan Jihad dijalanNya, kemudian kita harus menunggu sampai keputusan Allah menghukum kita karena kebodohan kita.

Allah Swt. tidak membiarkan keringanan untuk semua bukti-bukti manfaat dan kepentinga digunakan untuk mengabaikan kewajiban seperti jihad. Untuk alasan yang lebih besar, mereka tidak bisa menggunakan alasan yang sama untuk meninggalkan Tauhid dengan melakukan syirik, sebagaimana Tauhid adalah kewajiban pertama dan terbesar dalam Islam.

Bagaimana kemudian bisa sebuah prinsip yang dahulu untuk mengargumentasikan kebaikan voting dengan membesarkan beberapa manfaat materi? Jika tujuan dari Syari’ah adalah untuk menggambarkan kepada individu Muslim untuk membatasi batasan-batasan keinginan mereka dan kondisi-kondisi, kemudian apa tujuan Allah Swt. menginformasikan kepada kita bahwa sesuatu tertentu haram dan yang lain halal? Jika setiap Muslim akan menilai apa yang dia rasakan benar dan salah meyakini manfaat untuknya, maka apa tujuan eksistensi syari’ah?

k) “Mayoritas Ulama membolehkannya. Tidak ada Ulama yang sama dengan opini Anda!”

Satu-satunya orang yang lemah akalnya dan tidak punya bukti dari Al-Qur’an dan Sunnah untuk kembali pada pendirian mereka tempat untuk mengungkapkan, ‘siapa Anda? Kita adalah mayoritas! Semua masjid membolehkan voting!’ Orang yang benar-benar Muslim adalah yang beriman pada Allah Swt. tidak pernah memikirkan jumlah atapun besarnya orang-orang yang berkumpul; tetapi mereka selalu terfokus semata pada kekuatan bukti-bukti Islami dan pemahaman Salaf. Allah Swt.tidak memuji jumlah mayoritas, sebagaimana telah disebutkan pada awal diskusi ini. Tetapi sebagai sebuah peringatan, Allah Swt. befirman:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS Al An’aam, 6:116)

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya-.”
(QS Yusuf, 12: 103)

Ada pada sebuah sisi lain, sebuah prinsip Syari’ah disebut: Ijma’ ul Ummah, atau kesepakatan Ummat. Selanjutnya, prinsip ini merujuk pada Ummat pada masa Salaf, bukan Ummat Muslim pada saat ini.

Mayoritas Muslim pada saat ini berperan dalam lotre, perjudian, pergaulan bebas, merokok, perayaan festival Kuffar, ribaa dan tidak melaksanakan Shalat lima waktu dalam sehari. Itu selanjutnya menjadi hal yang menggelikan untuk menyatakan bahwa kesepakatan mereka adalah hujjah untuk kita.

Kesimpulan dan Nasehat

Akan selalu ada konflik antara kebenaran dan kebatilan. Selanjutnya, orang-orang yang mempuyai sifat nifaq dalam hati mereka akan terus membuat alasan untuk membenarkan kejahatan mereka yang telah dilakukan. Setiap tahun mereka akan datang dengan argumen palsu dan membenarkan kekufuran.

Kuncinya adalah: voting untuk pembuat hukum adalah terlarang sebagaimana itu adalah tindakan untuk memberikan sebuah atribut Allah Swt. kepada manusia, dimana perbuatan itu disebut syirik.

Satu-satunya masa yang membolehkan untuk melakukan sesuatu yang dilarang adalah ketika seseorang telah ditempelkan sebuah pisau di lehernya atau sebuah senjata di kepala mereka (yaitu dalam keadaan terpaksa). Ini jelas bukanlah kondisi yang sedang kita hadapi di barat maupun semua tempat, dengan demikian lebih baik mati dalam keadaan ber-Tauhid sebagai seorang Muslim daripada melakukan syirik.

Jika seseorang menginginkan untuk menuntut bahwa voting dibolehkan, mereka harus membawa hujjah yang membuktikan bahwa dibolehkan untuk melakukan syirik dengan tujuan untuk membantu orang lain atau mencapai beberapa keuntungan dunia.

Menjauh dari orang-orang yang mencintai Kuffar, voting kepada mereka, yang tergabung dalam partai mereka dan sekutu mereka sebagaimana penyakit mereka adalah penyakit menular.

Akhir kata bagi mereka yang tidak takut pada Allah. Kepada orang-orang yang mencintai Kaafir yang akan voting mengabaikan kemurkaan Allah:

Bukti-bukti yang jelas telah kita siapkan untuk Anda yang akan melawan kesaksian Anda di akhirat nanti. Sedikitpun mungkin mereka para pemimpin-pemimpin yang Anda pilih untuk membuat hukum tidak akan bisa membantu Anda di akhirat untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah dilakukan di dunia. Pada waktu itu mereka (para pemimpinmu) akan dilempar ke dalam Jahannam – jika mereka mati dalam keadaan kufur – dan Anda juga akan bergabung dengan mereka sebagaimana Allah mendapati Anda dengan orang-orang yang Anda cintai di dunia. Pada waktu itu, alasan seperti, ‘Kita mengikuti pemimpin kami,’ atau ‘Ulamaa kamu membolehkan begini dan begini,’ tidak akan diterima karena Allah Swt. berfirman:

“ (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.
Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.”
(QS Al Baqarah, 2: 166-167)

Kebebasan

Kebebasan adalah apa yang telah dikampanyekan secara efektif oleh Kuffar – dengan tujuan untuk membebaskan diri mereka dari ketaatan pada Pencipta mereka, Allah Swt., membebaskan semua manusia dari kemauan dan hawa nafsu mereka. Mereka dengan subur menerima apa yang Allah Swt. telah larang, sebagaimana ada orang yang berjuang untuk:

 Homo seksual, seks di luar nikah, perzinahan, aborsi, pornografi, budaya telanjang, incest, minum minuman keras, perjuudian dan pergaulan bebas.
 Mereka memperngaruhi kita dari usia muda untuk percaya bahwa Darwinisme dan evolusi serta terori big bang.
 Kebebasan yang mereka usung adalah untuk bisa mengatakan “Islam itu jahat” atau “Islam itu terbelakang” atau mereka bisa mendikte kita tentang Islam, namun pada saat kebenaran dipropagandakan mereka memeranginya sebagai ekstrimisme dan penghalang kebebasan berbicara ini. Baru-baru ini kita melihat Ulama seperti Syeikh Faisal, Syekh Abu Hamzah, Syekh Abu Qatadah dan banyak Da’i terkunci dibelakang karena melaksanakan kebebasan berbicaranya.

Sebagai seorang Muslim, tindakan dan nilai-nilai ini terlarang keras. Bukanlah untuk kita menjadi cenderung sifat-sifat buruk ini, tetepi sebagai sebuah kewajiban kita harus mengekspsos kebatilan dalam masayarakat dan mencegahnya, dan memerintahkan kebaikan yang tidak ada. Seruan kami tak seorangpun untuk semua politikus sekuler tidak juga membesar-besarkan pernyataan mereka. Seruan kita harus diridhoi oleh Allah Swt. dengan mengabaikan tekanan dari orang-orang yang bisa berdampak bagi kita karena pahala dari Allah Swt. adalah jauh lebih banyak.

Nilai-nilai buruk

Seruan untuk penggabungan (seperti voting) adalah seruan untuk menaklukan lebih jauh kehendak Muslim. Itu adalah sesuatu yang direncanakan oleh musuh-musuh Allah Swt. untuk menggiring Muslim bergabung dalam masayarakat kufur dan untuk menanamkan kepada Muslim nilai-nilai sekulerisme, sebagaimana termanifestasikan dengan partai-partai politik. Penggiringan ini untuk mensekulerkan Muslim yang telah siap untuk membimbing banyak Muslim pada penderitaan sebagai konsekuensi dari kebebasan.

Pemuda Muslim (masa depan kita) telah tenggelam dalam budaya kufur disekitar mereka. Perzinahan merajalela, dan bahkan homoseksual ditemukan telah masuk kedalam komunitas Muslim. Muslim yang terdahulu ditemukan pada diri mereka mengabaikankannya, dimana itu sebelumya digagas bahwa panti jompo adalah sebuah tempat kediaman Kuffar. Figur-figur baru dari kantor pusat menandai adanya cara lain. Apakah kita sebagai seorang Ummat menginginkan terus-menerus lemah dalam perjalanan ini?

Nilai-nilai yang tidak Islami

Tidak diragukan kebenarannya bahwa kita tidak akan menemukan hujjah untuk mempertahankan semua nilai-nilai yang tercela, maka dengan bangga hal itu telah diperjuangkan oleh Barat. Nilai-nilai ini adalah nilai-nilai Syaitan dan para pengikutnya.

Sebuah harga untuk menjual dien mereka, itu berharga voting untuk membolehkan semua yang telah jelas hukum kufur dengan tujuan bahwa kita mungkin mementingkan sedikit manfaat dalam dunia ini, untuk saling bertukar dalam kutukan di neraka? Allah Swt. memperingati kita tentang mereka, yang menyukai Kuffar, yang kita ambil sebagai teman. Allah Swt. berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. apabila mereka menjumpai kamu, mereka Berkata "Kami beriman", dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu Karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.
Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”
(QS Ali Imran, 3: 118-120)

Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.
Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Al Mai’dah, 5: 80-81)

Takutlah pada Allah sebagaimana dia telah wajibkan, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang Muslim.

Lampiran I

Alternatif Islami untuk voting kepada hukum buatan Manusia

Karena voting kepada hukum buatan manusia telah jelas terlarang dan sebuah perbuatan murtad dalam Islam, banyak orang mulai bertanya: “Apa alternatif untuk voting dan bagaimana kita memilih sebuah pemerintahan kecuali dengan voting?” Adalah sesuatu yang dangkal dan naïf untuk berasumsi bahwa satu-satunya mekanisme atau bentuk untuk mengangkat pemerintahan adalah dengan jalan demokrasi atau voting (hukum buatan manusia). Sebagai Muslim, adalah bagian dalam keyakinan kita untuk beriman bahwa Syari’ah Allah adalah sempurna, lengkap dan tidak berlawanan. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:

“...pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,” (QS Al Ma’idah, 5:3)

Selanjutnya Syari’ah kita telah dilengkapi oleh Allah Swt. dan Dia telah meninggalkannya tidak ada penyakit tanpa sebuah obat, tidak ada masalah tanpa sebuah solusi. Semua yang beriman bahwa Islam tidak lengkap dan tidak memberikan solusi bagi setiap permasalahan telah melakukan perbuatan Kufur (murtad) dan meninggalkan ikatan Islam. Ini karena Allah Swt. berfirman dalam kitabNya:

“dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
(QS An Nahl, 16: 89)

Jika ada sebuah isu atau masalah yang muncul di masa depan kemudian kita tidak bisa menemukan sebuah solusi atau jawaban untuk itu dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kita harus beriman bahwa ada satu tetapi tidak ditemukan (berdasarkan pengetahuan kita yang terbatas). Pernyataan seperti, “Islam tidak membahas tentang isu ini,” atau “tidak ada pernyataan syari’ah tentang masalah ini,” dan sebagainya semuanya adalah pernyataan kufur yang berimplikasi bahwa dien Allah tidak lengkap dan tidak menyediakan sebuah solusi untuk semua permasalahan.

Alternatif Islami untuk voting adalah sungguh jelas dan sederhana. Rasulullah Saw. dan para Shahabatnya tidak pernah voting pada Quraisy atau partai politik kaafir lainnya. Cara mereka untuk menerapkan Syari’ah adalah dengan berinteraksi dengan masyarkat dan menyeru mereka pada Islam. Jika orang-orang menolak, berperang melawan orang-orang beriman atau menangkap mereka, solusinya adalah berpindah ke tempat yang lain; dan inilah yang secara pasti kita yakini bahwa Nabi Muhammad telah melakukannya. Pada saat dia menemukan bahwa masyarakat Mekkah keras kepadanya dan tidak metolerir Islam (seperti pemerintahan Inggris saat ini dan negara-negara lainnya) dia meninggalkan Mekkah dan hijrah ke Madinah.

Madinah adalah sebuah kota dimana Rasulullah membangun masyarakat Muslim yang kuat kemudian menolak untuk hidup dengan hukum Kuffar, dan mengimplementasikan Syari’ah. Rasulullah Saw. tidak pernah voting untuk Kuffar dengan tujuan untuk mendapatkan suara atau posisi diantara Musyrikin Mekkah. Malah beliau mencari alternatif Islami yaitu hijrah dan mengimplementasikan Islam dalam wilayah sendiri, dan kemudian selanjutnya menyebarluaskan ideologi ini dengan jihad.

Sebagai seorang Muslim yang mengikuti golongan yang Selamat (Rasulullah Saw. dan para Shahabatnya), kita berkewajiban untuk mengikuti mereka. Solusi untuk Muslim di Inggris, Eropa dan semua belahan bumi adalah hidup bersama sebagai sebuah komunitas dan mengimplementasikan Islam, mengabaikan konsekuensinya (dari para penguasa kuffar). Ini karena mengimplementasikan Islam adalah sebuah kewajiban bagi setiap Muslim, dan semua orang yang mati tanpa memberikan sumpah setia pada Khalifah akan mati dalam keadaan jahililiyyah.

Alternatif Islami ini mungkin terdengar sulit atau “tidak praktis” bagi orang-orang yang menyimpang atau mempunyai sifat nifaq dalam hati mereka, tetapi siapa yang berkata bahwa Jannah mudah untuk dimasuki? Dengan hidup sebagai sebuah komunitas kita bisa menerapkan Syari’ah, membangun sebuah banunan masyarakat Muslim yang solid dan orang-orang yang ikhlas mengorbankan hidup mereka untuk Allah Swt. semata, dan kemudian membawa dien ini keseluruh ummat manusia. Tidak akan pernah ada kekurangan makanan atau masalah dengan makanan halal, kesehatan, keamanan, pendidikan, dan ekonomi dalam masayarakat. Sebagaimana Islam akan menjadi kuat dan semua bentuk kerusakan akan dibasmi.

Kita tidak merubah satu thaghut dengan voting kepada thaghut yang lain! Kami mengharuskan untuk menolak dan menjauhkan diri kita dari tawaghit, tidak untuk voting kepada mereka! Ini benar-benar hal yang menggelikan untuk mengatakan bahwa karena tidak ada pilihan atau alternatif. Kita harus voting. Itu seperti mengatakan, “Jika aku tidak bisa menemukan seorang istri, satu-satunya alternatif adalah menemukan seorang pria sebagai partner!” Kita tidak melakukan munkar dengan tujuan untuk mendapatkan kebaikan. Tujuan tidak membenarkan maksud, hanyalah orang-orang bodoh yang mempercayai hal itu.

Lampiran II


Voting pada anggota dewan adalah terlarang dalam Islam

Dengan pemilihan yang berikutnya kita melihat sebuah kesenangan dari mengkampanyekan pada sesuatu yang telah ditargetkan yaitu menipu Muslim ke dalam voting untuk organisasi kufur.

Para anggota dewan akan mengeraskan perbincangan di Masjid tentang isu-isu yang berdampak untuk Ummat Muslim. Jalan-jalan akan dipenui dengan poster-poster, juru kampanye akan mengetuk pintu kita, dan sebagainya yang kesemuanya dalam rangka mengambil suara kita. Kita harusnya bertanya pada diri kita, akankah seorang anggota dewan Muslim membuat perubahan yang lebih baik? Bukankah itu lebih bermanfaat untuk mempunyai seorang anggota dewan yang berlawanan dengan lainnya? Apakah dibolehkan untuk kita voting kepada partai buruh, konservatif, atau partai liberal yang semua berdasarkan pada asas kufur (di UK, atau partai-partai sekuler serupa di negeri-negeri lainnya) ?

Islam telah tersedia untuk kita dengan sebuah sumber dari referensi (Syari’ah) untuk mengatur semua aspek kehidupan kita. Itu selanjutnya sebuah kewajiban atas kita untuk merujuk kepada sumber ini (syari’ah) dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan tentang partisipasi dalam pemilihan ini. Allah Swt. telah menetapkan dalam Al-Qur’an :

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran, 3: 85)

Kita harus ingat bahwa Iman kita berdasarkan pada At-Tauhid yang berarti, menaati, mengikuti, menyembah dan meninggikan Allah Swt. secara khusus, tanpa menyekutukannya pada sesuatu apapun dengan sifat atau karekter seseorang. Menyekutukan Allah Swt. dengan apapun atau dengan sifat-sifatNya adalah sebuah perbuatan syirik yang akan mengeluarkan seseorang dari ikatan Islam, dan inilah mengapa Tauhid adalah pilar Islam yang paling mendasar.

Salah satu sifat Allah Swt. adalah bahwa dia adalah sang Legislator (Al-Hakam) dan Dia mempunyai hak, kekuatan untuk memerintah dan legislasi yang mutlak, serta tidak ada seorang pun yang mempunyai bagian kekuatan mutlak ini dariNya. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.” (QS Yusuf, 12: 40)

Realitas dari orang yang memilih adalah dia seseorang yang memilih wakilnya, yang pada akhir bersamanya bertanggungjawab untuk apapun dari perwakilan yang telah dipilih dan dialokasikan – tugasnya disini adalah sebagai perwakilan organisasi kufur yang tidak berdasarkan pada Islam untuk mengatur kepentingan orang-orangnya; selanjutnya, mendukung para anggota dewan ini adalah TERLARANG bagi ummat Muslim.

Realitas dari anggota dewan adalah dia terlibat dalam pembuatan hukum/ kebijakan dan mengimplementasikannya dengan pemerintahan lokal-ini adalah perbuatan murtad dalam Islam karena hanya Allah yang mempunyai hak untuk menetapkan hukum. Hukum buatan mereka mungkin lebih baik untuk sebuah komunitas tetapi karena sistemnya tidak berdasarkan Islam perbuatan ini benar-benar tertolak. Jadi semua Muslim yang melibatkan dirinya dalam masalah ini maka dia berdosa, tidak relevan dengan niatnya; selanjutnya, dia menjadikan dirinya sekutu bagi Allah Swt. – ini adalah perbuatan syirik – dan selanjutnya akan menjadi thaghut.

Menjadi seorang Muslim yang menerima, mempromosikan atau mendukung kufur adalah seseuatu yang berlawanan dengan keimanan Islam. Namun, kita menemukan kandidat Muslim yang berdiri sebagai perwakilan dari macam-macam partai politik yang dengan sangat menginginkan untuk menjadi bagian dari parlemen system kufur (sebuah penegakkan dimana para penguasa dengan hukum yang telah digagas dari pemikiran manusia, dimana manusia telah membuat kedaulatan dan mempunyai hak khusus untuk menetapkan – sebuah konsep yang dengan jelas melanggar sebuah dasar keimanan Islam, dengan nama-nama Allah dimana Dialah satu-satunya Legislator). Selanjutnya, fondasi dari permerintahan ini benar-benar bertentangan dengan Islam dan semua dukungan atau perwakilan dari ini adalah sebuah pelanggaran syara’.

Sebagaimana untuk orang-orang yang berfikir untuk voting kepada seorang anggota dewan Muslim atau non-Muslim untuk perbaikan dari komunitas mereka, biarlah itu diketahui bahwa ini sama saja dengan pemerintahan yang bertanggungjawab untuk membantai semua Muslim yang ada di atas bumi ini, untuk mengeksploitasi Muslim, kekayaan alam, dan memanipulasi negeri kami. Sama dengan orang-orang yang mencegah kita untuk mendukung saudara Muslim kita (secara lisan, fisik dan finansial) di Afghanistan, Kashmir, Chechnya, Iraq dan Palestina. Pemerintah itu sampai saat ini memberikan sanksi melawan saudara-saudara Muslim kami yang tidak bersalah di Iraq dan secara terang-terangan mendukung negara teroris Israel. Mereka secara terus-menerus melarang Muslim mengutuk menyelesaikan konferensi, demonstrasi, rally dan mengumpulkan dana untuk Mujahidin. Dengan voting kepada kandidat yang mewakili pemeritahan ini (apakah dia Muslim atau bukan) kita berarti telah menyokong semua perbuatan di atas, tidak melupakan bahwa kita akan berhadapan dengan Pencipta kita pada hari pengadilan dan semua yang telah kita lakukan akan diperhitungkan.

Kuffar menggunakan figur Muslim untuk membuat keseluruhan proses terlihat sah sama juga untuk membodohi orang-orang untuk voting kepada mereka, ketika secara fakta Allah Swt. telah memperingati kita tentang orang-orang yang melakukan ini:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut[312], padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An Nisaa’, 4: 60)

Wahai Ummat Muslim, ambilah Rasulullah Saw. dan para Shahabatnya Ra. sebagai contoh, mereka telah memerangi Kuffar, mereka mempertahankan keimanan mereka dan nilai-nilainya, mereka tidak pernah bersekutu dengan kuffar, mereka tidak pernah mendukung mereka tidak juga bertujuan untuk mendapatkan kesuksesan sementara bersama kuffar, tidak juga mereka mengkompromikan keimanan. Tetapi mereka berteriak untuk melawan kerusakan system kufur mereka, mereka menyoroti kekurangan dan buah pemikiran di dalam system dan memerangi semua dasar-dasarnya, menyediakan mereka dengan sebuah jalan hidup alternatif : Islam. Mereka menghadapi penderitaan dan kesukaran kerena ketaatan mereka pada Islam dan menolak untuk tunduk pada hukum negeri atau yang berasal dari legislatif lain, kecuali Allah Swt..

Lampiran III

Menghargai Partai Sekuler

Menghormati partai sekuler adalah sebuah tindakan kufur, kepercayaan bahwa kedaulatan berada di tangan manusia dan bukan Allah. Mereka mempunyai penghormatan kepada night club, nudisme, khamer, pornografi, homoseksual, zina, pergaulan bebas, musik, perjudian dan kebebasan menghina syari’ah – dengan dalih “kebebasan berbicara.”

Allah Swt. berfirman dalam Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka…” (QS Al Ma’idah, 5: 51)

Melakukan kemunafikan ini (yang mengkampanyekan kufur dan syirik) benar-benar menginginkan kekafiran. Alasan mengapa mereka menyeru kepada Muslim untuk voting ke partai mereka adalah bukan karena mereka peduli dengan Ummat Muslim; tetapi dengan tujuan untuk mendapatkan sedikit manfaat duniawi seperti kedudukan dalam dewan atau pembiayaan dari pemerintahan lokal.

Kepada saudara-saudari Muslim, jangan biarkan para juru kampanye mereka membodohi kita degan menjustifikasi kemurtadan mereka dengan perkara-perkara Islami. Kita tidak membantu saudara-saudara kita di Palestina dan Iraq menjadi Musyrik atau Kafir! Allah berfirman dalam Al-Qur’an bahwa kemenangan adalah untuk orang-orang yang beriman dan mempunyai amal Sholeh, bukan untuk orang-orang yang melakukan kekufuran dan kesyirikan dengan voting! Allah Swt. berfirman:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An Nur, 24: 55)



Ingatlah bahwa jika kita voting untuk partai politik manapun, semua yang mereka serukan atau tetapkan akan mencekik kita pada hari pengadilan. Jika kita voting pada saat ini, demi Allah, kita akan menjadi kafir keesokan harinya, jika tidak lebih cepat.

Wallahu’alam bis showab!

Ya….Allah…Saksikanlah kami telah menyampaikannya!!!